Kerajaan Muna
Muna pada asalnya dikenal dengan WUNA (bunga) yang menberi makna spiritual kepada kejadian alamnya,dimana
terdapatnya gugusan batu yang berbunga seakan-akan batu karang yang ditumbuhi rumput laut.
Nama Wuna kini ditukar dengan Muna dan menjadi daerah dalam Propinsi Sulawesi Tenggara, sebagaimana nama asli suku Muna dan Pulau Muna. Namun, kata "Wuna" itu lama kelamaan diucapkan dan ditulis menjadi "Muna" dalam laporan dan bahasa resmi.
Wuna dalam bahasa Muna berarti bunga. Disebut begitu karena tidak jauh dari Kota Wuna itu terdapat sebuah bukit batu karang yang sewaktu- waktu ditumbuhi sejenis rambut karang menyerupai bunga.
Kota Muna terletak sekitar 25 kilometer dari Raha, ibu kota Kabupaten Muna, sekarang.
Daratan Pulau Muna memang hampir didominasi batu karang. Bukit batu (yang sering) berbunga itu disebut "Bahutara" yang diartikan sebagai bahtera. Hal itu terkait dengan tradisi lisan yang menyebutkan bahwa di tempat itulah perahu "Sawerigading" tokoh asal Bugis Sulawesi Selatan yang melegenda, terdampar setelah menabrak/rempuh batu karang. Para pengikut Sawegading sebanyak 40 orang dari Luwu, Sulsel, kemudian terpencar ke berbagai tempat, sebagian membuat koloni di Muna, dan lainnya ke Konawe di Jazirah Sulawesi Tenggara.Sejalan dengan semakin baiknya sistem pemerintahan, pada masa kekuasaan LAKILAPONTO sebagai Raja Muna VII (1538- 1541) mulailah dibangun pusat kerajaan di lokasi yang disebut Wuna tadi. Pembuatan benteng yang mengelilingi Kota Wuna merupakan prestasi besar yang dihasilkan pemerintahan raja tersebut.
Setelah LAKILAPONTO dilantik menjadi Sultan Buton, pembangunan Kota Wuna dilanjutkan penggantinya, La POSASU,
adik LAKILAMPO. Pertabalan LAKILAPONTO sebagai Sultan Buton merupakan hadiah dari Sultan yang sedang berkuasa
atas keberhasilan Raja Muna itu mengalahkan dan membunuh bajak laut La Bolontio, pengacau keamanan rakyat Buton.
Setelah menjadi Pemimpin Buton dan kemudian bergelar Sultan Murhum, menyusul diterimanya Islam sebagai agama
resmi Kerajaan, LAKILAPONTO mengadakan kesepakatan dengan adiknya, La POSASU, untuk saling membantu dan
bekerja sama bila kedua kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman dan intervensi dari luar.
Hubungan persaudaraan di antara kedua Kerajaan terjalin hangat selama kurang lebih 3,5 abad. Namun, dalam kerangka politik pecah belah pemerintah kolonial Belanda bersama Sultan Buton secara sepihak membuat perjanjian yang disebut Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918.
Isi perjanjian itu menyebutkan, Belanda hanya mengakui dua pemerintahan swapraja di Sulawesi Tenggara, yakni Swapraja Buton dan Swapraja Laiwoi di Kendari. Sejak saat itu Kerajaan Muna yang berdaulat dinyatakan berada di bawah kontrol Kesultanan Buton. Sebagai subordinasi Kesultanan Buton, Muna praktis menjadi salah satu dari empat wilayah penyangga (bharata) kerajaan Islam tersebut.
Tiga Bharata yang lain adalah Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa.
Berdasarkan Korte Verklaring itu pula beberapa kerajaan kecil di sekitar Kesultanan Buton, seperti Tiworo, Kulisusu, Kaledupa, Rumbia, dan Kabaena, ikut menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Dua kerajaan kecil yang terakhir merupakan wilayah nonstruktural karena tidak menyandang predikat Bharata.
IHWAL pembangunan Kota Muna, Couvreur mengutip kepercayaan mistiK bahwa dalam pembangunan benteng kota itu
oleh LAKILAPONTO dibantu para jin (roh halus. Pembuatan benteng itu memang merupakan pekerjaan raksasa sebab,
seperti ditulis Couvreur, panjang keliling pagar tembok itu mencapai 8.073 meter dengan tinggi empat meter dan tebal tiga meter. Selain melanjutkan dan menyempurnakan pembangunan tembok pagar Ibu Kota Kerajaan tersebut, La POSASU sebagai pengganti LAKILAPONTO juga mendirikan bangunan tempat Perguruan Islam, sesuai anjuran Syekh Abdul Wahid. Seperti disebutkan La Kimi Batoa, pensiunan guru sejarah, Abdul Wahid adalah penyebar agama Islam pertama di Pulau Muna.
Fasilitas publik lainnya di Kota Muna adalah masjid.
Masjid pertama dibangun pada masa pemerintahan La Titakono sebagai Raja Muna X (1600- 1625).
Menurut La Ode Muhammad Sirad Imbo (65), tokoh adat Muna, masjid yang dibangun raja tersebut masih sederhana dan bersifat darurat. Masjid agak besar baru dibangun pada era pemerintahan Raja La Ode Huseini dengan gelar Omputo Sangia (1716- 1757). Masjid tersebut dibangun di tempat berbeda dengan lokasi masjid pertama.
Masjid di Kota Muna itu hampir seumur dengan Masjid Agung Keraton Buton di Bau- Bau.
Masjid Keraton Buton dibangun oleh Sultan Sakiuddin Darul Alam pada tahun 1712 dengan konstruksi permanen, dan baru dipugar pada tahun 1930-an di masa pemerintah Sultan Buton ke-37, Muhammad Hamidi. Adapun Masjid Agung Kota Muna baru dibangun secara permanen sekitar tahun 1933 oleh La Ode Dika sebagai Raja Muna (1930-1938).
Kegiatan pembangunan (renovasi) masjid tersebut mendapat bantuan dari Kontroler Belanda yang berkedudukan di Raha, Jules Couvreur. "Dia menyediakan bahan, seperti semen, atap seng, dan bahan bangunan lainnya. Karena selama memangku Raja lebih banyak memerhatikan pembangunan masjid tersebut, maka La Ode Dika diberi gelar Komasigino (pemilik masjid).
Dua dari 14 putra-putri La Ode Dika tercatat sebagai tokoh daerah, yakni La Ode Kaimuddin, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, dan La Ode Rasyid, mantan Bupati Muna.
KERAJAAN Muna di masa lalu kini nyaris tak meninggalkan bekas. Satu-satunya peninggalan yang tampak di Kota Muna saat ini hanyalah bangunan Masjid yang pernah dirawat La Ode Dika, Raja Muna terakhir yang dipilih oleh Sarano Wuna yang dibentuk Raja La Titakono pada abad ke-17 itu.Bangunan masjid itu juga sudah tidak asli. Ketika Bupati Muna dijabat Maola Daud pada tahun 1980-an, bangunan Masjid tua itu dirombak total ukuran dan bentuknya. Giliran Ridwan Bae menjadi Bupati Muna (2000- 2005), bangunan masjid itu dirombak lagi untuk dikembalikan ke bentuk asalnya.
Bentuk masjid di bekas ibu kota kerajaan itu sangat sederhana. Bangunannya terdiri atas tiga susun, termasuk tempat dudukan kubah. Itulah bentuknya yang asli dari masjid tua tersebut. Peninggalan yang lain sudah tidak ada lagi, kecuali beberapa makam tua yang menjadi kuburan Raja-Raja zaman dulu, antara lain makam La Ode Huseini, yang pada masa hidupnya dikenal sangat taat menjalankan ajaran Islam.
Sisa-sisa ataupun reruntuhan Benteng Kota Muna yang konon dibangun dengan bantuan jin itu juga sudah tidak ada lagi. Namun pagar tembok itu masih tersisa sekitar 1.800 meter yang masih utuh. Hanya fisik bangunannya memang tidak kelihatan karena dibalut rumput liar.
Kerajaan Muna yang dulu berbudaya feodal kini tinggal kenangan. Yang ada hanyalah hamparan semak belukar di sebuah dataran agak cekung yang diapit bukit-bukit karang.
Di sana-sini tampak rumah- rumah adat Muna dari kayu jati yang baru dibangun. Menurut rencana Pemerintah Kabupaten Muna membangun perkampungan bagi para pemangku Sarano Wuna(Mahkamah Adat) sebagai miniatur Kota Muna beberapa abad silam
Muna pada asalnya dikenal dengan WUNA (bunga) yang menberi makna spiritual kepada kejadian alamnya,dimana
terdapatnya gugusan batu yang berbunga seakan-akan batu karang yang ditumbuhi rumput laut.
Nama Wuna kini ditukar dengan Muna dan menjadi daerah dalam Propinsi Sulawesi Tenggara, sebagaimana nama asli suku Muna dan Pulau Muna. Namun, kata "Wuna" itu lama kelamaan diucapkan dan ditulis menjadi "Muna" dalam laporan dan bahasa resmi.
Wuna dalam bahasa Muna berarti bunga. Disebut begitu karena tidak jauh dari Kota Wuna itu terdapat sebuah bukit batu karang yang sewaktu- waktu ditumbuhi sejenis rambut karang menyerupai bunga.
Kota Muna terletak sekitar 25 kilometer dari Raha, ibu kota Kabupaten Muna, sekarang.
Daratan Pulau Muna memang hampir didominasi batu karang. Bukit batu (yang sering) berbunga itu disebut "Bahutara" yang diartikan sebagai bahtera. Hal itu terkait dengan tradisi lisan yang menyebutkan bahwa di tempat itulah perahu "Sawerigading" tokoh asal Bugis Sulawesi Selatan yang melegenda, terdampar setelah menabrak/rempuh batu karang. Para pengikut Sawegading sebanyak 40 orang dari Luwu, Sulsel, kemudian terpencar ke berbagai tempat, sebagian membuat koloni di Muna, dan lainnya ke Konawe di Jazirah Sulawesi Tenggara.Sejalan dengan semakin baiknya sistem pemerintahan, pada masa kekuasaan LAKILAPONTO sebagai Raja Muna VII (1538- 1541) mulailah dibangun pusat kerajaan di lokasi yang disebut Wuna tadi. Pembuatan benteng yang mengelilingi Kota Wuna merupakan prestasi besar yang dihasilkan pemerintahan raja tersebut.
Setelah LAKILAPONTO dilantik menjadi Sultan Buton, pembangunan Kota Wuna dilanjutkan penggantinya, La POSASU,
adik LAKILAMPO. Pertabalan LAKILAPONTO sebagai Sultan Buton merupakan hadiah dari Sultan yang sedang berkuasa
atas keberhasilan Raja Muna itu mengalahkan dan membunuh bajak laut La Bolontio, pengacau keamanan rakyat Buton.
Setelah menjadi Pemimpin Buton dan kemudian bergelar Sultan Murhum, menyusul diterimanya Islam sebagai agama
resmi Kerajaan, LAKILAPONTO mengadakan kesepakatan dengan adiknya, La POSASU, untuk saling membantu dan
bekerja sama bila kedua kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman dan intervensi dari luar.
Hubungan persaudaraan di antara kedua Kerajaan terjalin hangat selama kurang lebih 3,5 abad. Namun, dalam kerangka politik pecah belah pemerintah kolonial Belanda bersama Sultan Buton secara sepihak membuat perjanjian yang disebut Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918.
Isi perjanjian itu menyebutkan, Belanda hanya mengakui dua pemerintahan swapraja di Sulawesi Tenggara, yakni Swapraja Buton dan Swapraja Laiwoi di Kendari. Sejak saat itu Kerajaan Muna yang berdaulat dinyatakan berada di bawah kontrol Kesultanan Buton. Sebagai subordinasi Kesultanan Buton, Muna praktis menjadi salah satu dari empat wilayah penyangga (bharata) kerajaan Islam tersebut.
Tiga Bharata yang lain adalah Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa.
Berdasarkan Korte Verklaring itu pula beberapa kerajaan kecil di sekitar Kesultanan Buton, seperti Tiworo, Kulisusu, Kaledupa, Rumbia, dan Kabaena, ikut menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Dua kerajaan kecil yang terakhir merupakan wilayah nonstruktural karena tidak menyandang predikat Bharata.
IHWAL pembangunan Kota Muna, Couvreur mengutip kepercayaan mistiK bahwa dalam pembangunan benteng kota itu
oleh LAKILAPONTO dibantu para jin (roh halus. Pembuatan benteng itu memang merupakan pekerjaan raksasa sebab,
seperti ditulis Couvreur, panjang keliling pagar tembok itu mencapai 8.073 meter dengan tinggi empat meter dan tebal tiga meter. Selain melanjutkan dan menyempurnakan pembangunan tembok pagar Ibu Kota Kerajaan tersebut, La POSASU sebagai pengganti LAKILAPONTO juga mendirikan bangunan tempat Perguruan Islam, sesuai anjuran Syekh Abdul Wahid. Seperti disebutkan La Kimi Batoa, pensiunan guru sejarah, Abdul Wahid adalah penyebar agama Islam pertama di Pulau Muna.
Fasilitas publik lainnya di Kota Muna adalah masjid.
Masjid pertama dibangun pada masa pemerintahan La Titakono sebagai Raja Muna X (1600- 1625).
Menurut La Ode Muhammad Sirad Imbo (65), tokoh adat Muna, masjid yang dibangun raja tersebut masih sederhana dan bersifat darurat. Masjid agak besar baru dibangun pada era pemerintahan Raja La Ode Huseini dengan gelar Omputo Sangia (1716- 1757). Masjid tersebut dibangun di tempat berbeda dengan lokasi masjid pertama.
Masjid di Kota Muna itu hampir seumur dengan Masjid Agung Keraton Buton di Bau- Bau.
Masjid Keraton Buton dibangun oleh Sultan Sakiuddin Darul Alam pada tahun 1712 dengan konstruksi permanen, dan baru dipugar pada tahun 1930-an di masa pemerintah Sultan Buton ke-37, Muhammad Hamidi. Adapun Masjid Agung Kota Muna baru dibangun secara permanen sekitar tahun 1933 oleh La Ode Dika sebagai Raja Muna (1930-1938).
Kegiatan pembangunan (renovasi) masjid tersebut mendapat bantuan dari Kontroler Belanda yang berkedudukan di Raha, Jules Couvreur. "Dia menyediakan bahan, seperti semen, atap seng, dan bahan bangunan lainnya. Karena selama memangku Raja lebih banyak memerhatikan pembangunan masjid tersebut, maka La Ode Dika diberi gelar Komasigino (pemilik masjid).
Dua dari 14 putra-putri La Ode Dika tercatat sebagai tokoh daerah, yakni La Ode Kaimuddin, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, dan La Ode Rasyid, mantan Bupati Muna.
KERAJAAN Muna di masa lalu kini nyaris tak meninggalkan bekas. Satu-satunya peninggalan yang tampak di Kota Muna saat ini hanyalah bangunan Masjid yang pernah dirawat La Ode Dika, Raja Muna terakhir yang dipilih oleh Sarano Wuna yang dibentuk Raja La Titakono pada abad ke-17 itu.Bangunan masjid itu juga sudah tidak asli. Ketika Bupati Muna dijabat Maola Daud pada tahun 1980-an, bangunan Masjid tua itu dirombak total ukuran dan bentuknya. Giliran Ridwan Bae menjadi Bupati Muna (2000- 2005), bangunan masjid itu dirombak lagi untuk dikembalikan ke bentuk asalnya.
Bentuk masjid di bekas ibu kota kerajaan itu sangat sederhana. Bangunannya terdiri atas tiga susun, termasuk tempat dudukan kubah. Itulah bentuknya yang asli dari masjid tua tersebut. Peninggalan yang lain sudah tidak ada lagi, kecuali beberapa makam tua yang menjadi kuburan Raja-Raja zaman dulu, antara lain makam La Ode Huseini, yang pada masa hidupnya dikenal sangat taat menjalankan ajaran Islam.
Sisa-sisa ataupun reruntuhan Benteng Kota Muna yang konon dibangun dengan bantuan jin itu juga sudah tidak ada lagi. Namun pagar tembok itu masih tersisa sekitar 1.800 meter yang masih utuh. Hanya fisik bangunannya memang tidak kelihatan karena dibalut rumput liar.
Kerajaan Muna yang dulu berbudaya feodal kini tinggal kenangan. Yang ada hanyalah hamparan semak belukar di sebuah dataran agak cekung yang diapit bukit-bukit karang.
Di sana-sini tampak rumah- rumah adat Muna dari kayu jati yang baru dibangun. Menurut rencana Pemerintah Kabupaten Muna membangun perkampungan bagi para pemangku Sarano Wuna(Mahkamah Adat) sebagai miniatur Kota Muna beberapa abad silam
Leluhur Muncul dari Bambu
MITOS asal-usul manusia yang menjadi penguasa di daerah kepulauan di Sulawesi Tenggara mempunyai versi yang sama. Wa ka ka, Ratu pertama Kesultanan Buton, diceritakan datang dari China dan pada awalnya ia muncul dari lubang bambu kuning di dalam kompleks Keraton Buton sekarang. Leluhur keturunan Mokole (raja) di Kabaena (kini Kabupaten Bombana) juga dimitoskan muncul dari bambu yang biasa dipakai membuat nasi bambu.La Eli alias Baidulzamani, yang disebut sebagai raja pertama di Pulau Muna, menjadi legenda masyarakat Muna bahwa ia berasal dari Luwu, Sulawesi Selatan, lalu muncul dari dalam lubang bambu saat ditemukan manusia yang telah lebih dulu membangun koloni di Wamelai dalam wilayah Tongkuno. Setelah diangkat menjadi raja,Baidulzamani diberi gelar Bheteno ne Tombula (’Manusia yang Dilahirkan di dalam Bambu). Adapun permaisuri bernama Tandi Abe (Tanri Abeng) juga dikabarkan berasal dari Luwu. Konon ia terdampar di Napabale, sebuah laguna di pantai timur Pulau Muna dan kini menjadi salah satu obyek wisata.
Salah seorang putri Raja Luwu tersebut dengan menumpang sebuah talam besar pergi ke arah timur mencari pria yang telah menghamilinya. Talam itu telah menjadi batu sekarang. Pria yang dicari tak lain adalah Baidulzamani yang telah lebih dulu berada di daratan Muna.
Setelah dipertemukan mereka pun dikawinkan dan menetap di Wamelai.
Perkawinan itu melahirkan tiga anak. Salah seorang di antaranya bernama Kaghua Bhangkano yang kemudian menjadi Raja Muna II dengan gelar Sugi Patola. Sugi berarti ’Yang Dipertuan’. Lakilaponto Raja Muna VII dan Sultan Buton VI lalu menjadi Sultan Buton pertama dengan sebutan Murhum (almarhum) setelah mangkat, berasal dari garis keturunan sugi tersebut.
TITAKONO, Raja Muna X (1600-1625) tercatat dalam sejarah Muna sebagai pemrakarsa penetapan golongan dalam
masyarakat Muna. Ia menetapkan penggolongan itu bersama sepupunya bernama La Marati. Yang terakhir ini adalah anak Wa Ode Pogo, saudara perempuan Lakilaponto. Titakono sendiri adalah putra Rampei Somba, saudara Lakilaponto. Sebagai raja, Titakono mengangkat sepupunya itu menjadi pembantu utamanya dalam pemerintahan dengan jabatan yang disebut bhonto bhalano (semacam perdana menteri). Setelah itu keduanya bersepakat menetapkan strata sosial masyarakat. Berdasarkan kesepakatan itu, golongan masyarakat dari garis keturunan sugi sampai kepada Titakono harus diakui sebagai golongan tertinggi yang disebut Kaomu dengan gelar la ode.
Lalu kelompok masyarakat keturunan mulai dari La Marati ditetapkan sebagai golongan setingkat lebih rendah dari Kaomu yang disebut Walaka. Golongan Walaka tidak memakai gelar La ode. La Marati menyetujui penetapan posisinya seperti itu karena menyadari bahwa ayahnya, La Pokainsi, bukan keturunan sugi. Kendati ibunya, Wa Ode Pogo, adalah keturunan sugi dan saudara kandung dari Lakilaponto, La Marati dan keturunannya sudah digariskan menjadi golongan Walaka.
Dalam struktur pemerintahan kerajaan, golongan Walaka berhak menduduki jabatan bhonto bhalano, sebagaimana yang telah dirintis La Marati.
Sementara untuk jabatan raja sudah digariskan harus mereka yang bergelar La ode.apisan ketiga dalam masyarakat Muna di masa lampau adalah golongan Maradika, rakyat biasa. Selain menetapkan penggolongan masyarakat, duet Titakono-Marati juga membentuk dewan adat atau Sarano Wuna. Ketika itu Sarano Muna terdiri atas enam anggota, yaitu Raja, Bhonto Balano, dan ke-4 ghoerano (empat kepala wilayah yang menjadi basis utama Kerajaan Muna). Mereka adalah ghoerano Tongkuno, Kabawo, Lawa, dan Katobu.
Anggota Sarano Wuna kemudian bertambah sejalan dengan perkembangan wilayah kekuasaan.
Tradisi dan Wisata WISATA -"Lia Ngkobori atau [gua bergaris/bertulis Adalah dua buah goa besar peninggalan nenek moyang bangsa Muna.
Muna yang dalam kitab sejarahnya adalah mendapat gelar KOTA ARABIA LAMA karena keadaan negerinya yang
menyerupai Arabia."Pada dinding goa /lia ngkobori. bisa disaksikan lukisan dinding yang menggambarkan kehidupan suku Muna pada masa itu seperti perjuangan suku Muna dalam mempertahankan hidupnya yang digambarkan seorang menaiki seekor gajah, gambar matahari, gambar pohon kelapa yang menggambarkan tingkat pertanian suku Muna, gambar binatang ternak seperti sapi, kuda dan lain-lainnyap.Walaupun relief atau gambar tsb. terkesan sederhana tetapi kita dapat menangkap arti makna yang jelas yaitu keberadaan suku Muna pada saat itu.
Selain gua yang melukiskan relief terdapat pula gua yang didiami oleh burung walet. Gua tsb. mempunyai stalaktit dan stalaknit yang sangat indah dengan warna yang cenderung hitam mengkilap. Apabila kita menyelusuri gua kecil kita akan menyaksikan keindahan batu yang berbentuk bulatan-bulatan berwarna putih. zkawasan gua tsb. sangat cocok untuk rekreasi dan berkemah, berhawa sejuk dengan alamnya yang asli. Jarak menuju obyek ini sekitar satu jam atau sekitar 20 Km dari kota Raha ke arah Timur. TRADISI -"Perkelahian Kuda merupakan salah satu atraksi yang terkenal di Sulawesi Tenggara yang hanya terdapat di Muna.Perkelahian kuda diadakan pada berbagai acara atau perayaan. Penyambutan tamu penting atau melayani permintaan khusus.Seekor kuda betina akan diperebutkan oleh dua ekor kuda jantan sehingga mereka berkelahi untuk mendapatkannya. Perkelahian ini biasanya diadakan di lapangan terbuka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar