Pendakian Spritual

Pendakian Spritual
ALLAH SWT - MANUSIA - ALAM

Rabu, 02 Maret 2011

HAKIKAT, MA'RIFAT, TAREKAT

HAKIKAT, MA'RIFAT, TAREKAT

HAKIKAT

PARA SUFI menyebut diri mereka “ahli hakikat”. Penyebutan ini mencerminkan obsesi mereka terhadap kebenaran hakiki; karena itu mudah dipahami kalau mereka menyebut Tuhan dengan al-Haqq, seperti yang tercermin dalam ungkapan al-Hallaj.”Aku adalah Tuhan” (ana al-Haqq). Obsesi terhadap hakikat (realitas absolut) ini tercermin dalam penafsiran mereka terhadap formula “La ilaha illah Allah “ yang mereka artikan tidak ada realitas yang sejati kecuali Allah. Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya wujud yang hakiki, dalam arti ialah yang betul-betul ada, ada yang absolut, sedangkan yang lain keberadaannya tidak hakiki atau nisbi dan tergantung kepada kemurahan Tuhan. Dialah Tuhan yang awal dan akhir, yang lahir dan batin, “sebab” dari yang segala ada dan tujuan akhir tempat mereka kembali. Ibarat matahari, Dialah yang memberi cahaya kepada kegelapan dunia, dan menyebabkan terangnya obyek-obyek yang tersembunyi dalam kegelapan. Dia jugalah pemberi wujud, sehingga benda-benda dunia menyembul dari persembunyiannya. Al-Qur’an menggambarkan Tuhan sebagai al-Awwal dan al-Akhir, al-Zhahir dan al-Bahtin. Al-Awwal dipahami para sufi sebagai sumber atau asal dari segala yang ada, Prima Causa, sebab pertama dari segala yang ada di dunia. Dia yang Akhir diartikan sebgai “tujuan akhir” atau “tempat Kembali” dari segala yang ada di dunia ini, termasuk manusia. Dialah pula pulau harapan ke mana bahtera kehidupan manusia berlayar. Dialah “kampung halaman” ke mana jiwa manusia yang sedang mengembara di dunia rindu kembali. Dia adalah “muara” kemana perjalanan spiritual seorang sufi mengalir. Dialah sang kekasih, dimana sang pecinta selalu mendambakan pertemuan. Dnilah tujuan akhir ke mana sang Sufi mengorientasikan seluruh eksistensinya. Tuhan juga digambarkan sebagai “al-Zhahir” dan “al-Bathin”, dan ini menggambarkan “imanensi” dan “transendensi” Tuhan. Bagi para sufi alam lahir (dunia indrawi) adalah cermin dari Tuhan, atau “pantulan” Tuhan dalam sebuah cermin. Alam lahir karena itu merupakan refleksi atau manifestasi (tajalliyat) Tuhan, dan karena itu tidak berbeda dari diri-Nya, tetapi juga tidak sama. Dan ketidaksamaannya ini terletak dalam sifat diri-Nya sebagai yang Bathin. Sebagai yang Batin, Tuhan berbeda atau mentransenden alam lahir, Dia adalah sumber, prinsip atau sebab, sedangkan alam adalah turunan, derivatif dan akibat daripada-Nya. Tuhan adalah mutlak sedangkan alam adalah nisbi, Tuhan ibarat matahari, sedangkan alam adalah cahayanya. Keberadaan matahari tidak tergantung pada cahayanya., namun justru keberadaan cahaya sangat bergantung pada matahari. Jadi, keberadaan alam sangat tergantung kepada-Nya. Sifat dasar diri-Nya adalah niscaya atau wajib, sedangkan sifat dasar alam adalah mungkin. Pernyataan “la ilaha illa Allah” ditafsirkan para sufi sebagai penafian terhadap eksistensi yang lain, termasuk eksistensi dirinya sebagai realitas. Konsep fana’ atau “faana’ al-fana” adalah ekspresi sufi akan penafian dirinya, sedangkan konsep baqa’ adalah afirmasi terhadap satu-satunya Realitas Sejati, yaitu Allah, atau Tuhan yang dinyatakan dalam formula “illa Allah”. Fana’ dan baqa’ dipandang sebagai “station” (maqam) terakhir yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Para sufi berdaya upaya sedapat mungkin untuk mencapai maqam tersebut, termasuk membunuh “ego”nya sendiri yang dipandang sebagai “kendala” atau menurut istilah mereka “berhala” terbesar yang bisa menghalangi perjalanan spiritual mereka menuju Tuhan. Dengan begitu ibadah mereka diikhlaskan atau dibersihkan dari segala unsur syirik, sebagai syarat diperkenankannya masuk kehadirat Tuhan. Rumi pernah berkata “Satu lubang jarum bukanlah untuk dua ujung benang.”

MA’RIFAT MA’RIFAT adalah sejenis pengetahuan dengan mana para Sufi menangkap hakikat atau realitas yang menjadi obsesi mereka. Ma’rifat berbeda dengan jenis ilmu lainnya, di mana ia menangkap obyeknya secara langsung, tidak melalui representasi, image ataupun simbol dari obyeknya tersebut. Seperti indra menagkap obyeknya secara langsung, demikian juga “hati” atau intuisi menangkap obyeknya secara langsung, perbedaannya terletak pada jenis obyeknya; kalau obyek indra adalah benda-benda indrawi (mahsusat), obyek intuisi adalah entitas-entitas spiritual (ma’qulat). Dalam kedua modus pengenalan ini manusia mengalami obyeknya secara langsung, dan karena itu ma’rifah disebut sebagai ilmu dzauqi (experiental), yang biasanya dikontraskan dengan pengetahuan melalui nalar (bahtsi). Walaupun sama-sama melalui pengalaman / dialami seseorang, namun hubungan orang itu dengan obyeknya berbeda. Dalam pengenalan indrawi obyek-obyeknya berada di luar dirinya, dan dikaitkan dengannya melalui “representasi”, sedangkan obyek-obyek intuisi, hadir begitu saja dalam diri orang tersebut, dan karena itu disebut “ilmu hudhuri” dan bukan “ilmu hushuli”. Ma’rifat dapat dibedakan dengan ilmu-ilmu rasional, dimana pemilahan antara subyek dan obyek begitu dominan, dan jarak antara keduanya sangatlah lebar. Walaupun ilmu rasional atau tepatnya akal sama-sama menangkap obyek-obyek ma’qulat (ruhani) sebagaimana intuisi tetapi cara keduanya berbeda. Akal menangkap obyek ruhani melalui hal-hal yang telah diketahui menuju yang tidak diketahui, jadi bersifat inferensial. Sementara intuisi menangkap obyeknya langsung dari sumbernya, apakah Tuhan atau malaikat, melalui apa yang dikenal sebagai penyingkapan, mukasyafah atau penyinaran (iluminasi) dan penyaksian (musyahadah). Penyingkapan ini bisa terjadi dalam keadaaan jaga atau mimpi, dapat mengambil bentuk ilham atau wahyu, atau terbukanya kesadaran hati akan kenyataan yang selama ini tersembunyi demikian rapat. Ma’rifat tidak bisa diraih melalui jalan indrawi, karena menurut Rumi itu seperti mencari-cari mutiara yang berada di dasar laut hanya dengan datang dan memandang laut. Ia juga tidak dapat diperoleh lewat penggalian nalar, karena itu akan sama seperti orang yang menimba laut untuk mendapatkan mutiara. Untuk mendapatkan mutiara (ma’rifat) orang membutuhkan penyelam ulung dan beruntung; yakni butuh seorang mursyid yang berpengalaman. Bahkan mengingatkan bukan hanya penyelam yang ulung tetapi juga beruntung, yakni tergantung kepada kemurahan Tuhan, karena tidak semua kerang mengandung mutiara yang didambakan. Ma’rifat, seperti yang telah dikemukakan, berdasarkan pada pengalaman; artinya ia harus dialami, bukan dipelajari. Seperti memahami rasa manis, akan bisa dengan mudah dengan langsung mencicipi gula. Mencoba memahaminya lewat keterangan orang lain atau membaca buku akan mendapatkan pengetahuan yang semu. Paling banter, hanya bisa menghampirinya tanpa bisa menyentuhnya. Ma’rifat tidak bisa dipelajari dari buku, bahkan buku para Sufi sekalipun. Ketika kita datang kepada seorang mursyid, maka ia akan mengajak kita berdzikir dan melakukan disiplin-disiplin spiritual yang keras, agar kita mengalami pengalaman-pengalaman mistik atau keagamaan sendiri dan bisa mencicipinya sendiri. Buku bagi seorang Sufi hanyalah simbol karena terdiri dari huruf-huruf yang tidak lain daripada simbol yang disepakati. Tapi bisakah kita menyunting mawar dari M.A.W.A.R.? Perbedaan lain antara ma’rifat dengan jenis pengetahuan yang lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras, seperti belajar, merenung, mengasah otak dan berpikir keras melalui cara-cara berfikir yang logis, jadi manusia memang betul-betul berusaha dengan segenap kemampuannya untuk memperoleh obyek pengetahuannya. Tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia, pada tahap akhir semuanya tergantung kemurahan Tuhan. Manusia hanya bisa melakukan “persiapan diri” (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit jiwa lainnya, yakni akhlak yang tercela. Ibarat kaca yang dipasang untuk menerima cahaya matahari ke dalam rumah hati kita, kaca tersebut harus senantiasa dibersihkan dari segala debu yang menempel di atasnya, agar ketika sinar matahari itu masuk atau hadir maka kaca kita siap mengantarkannya ke dalam jantung rumah kita dan memberi cahaya pada sekitarnya. Sehingga terjadi iluminasi terhadap benda-benda yang ada disekitarnya dan membuat benda-benda yang tak tampak atau remang-remang menjadi jelas dan terang benderang.

TAREKAT

TAREKAT (thariqah), seperti syari’at berarti jalan, hanya saja yang pertama berarti jalan kecil (path) sedangkan yang terakhir berarti jalan besar (road). Tarekat kemudian dipahami sebagai jalan spiritual yang ditempuh seorang Sufi. Selain tarekat sering juga dipakai kata suluk yang artinya juga jalan spiritual, dan orangnya disebut salik. Tetapi kata tarekat juga dipakai sebagai kelompok persaudaraan atau orde spiritual yang biasanya didirikan oleh seorang Sufi besar, seperti Abdal-Qadir jaelani, Sadzali, Jalal al-din Rumi dan lain-lain. Nama tarekat tersebut biasanya diberi nama sesuai dengan nama-nama para pendirinya. Karena itu kita mengenal tarekat Qadiriah, Sadzaliyah atau Mawlawiyah yang dinisbatkan dengan kata Mawlana (guru kami) sebuah sebutan yang diberikan oleh para pengikut Jalal al-din Rumi kepada dirinya. Sebagai jalan spiritual, tarekat ditempuh oleh para Sufi dan Zahid di sepanjang zaman. Setiap orang yang menempuhnya mungkin mempunyai pengalaman yang berbeda-beda, sekalipun tujuannya adalah sama, yaitu menuju Tuhan, mendekati Tuhan bahkan bersatu dengan-Nya, baik dalam arti majaz atau hakiki, yaitu kesatuan mistik atau ittihad (mystical union). Meskipun begitu para ahli sepakat untuk memilah-milah tahapan perjalanan spiritual ini ke dalam station-station (maqamat), dan keadaan-keadaan (ahwal). Sementara maqamat dicapai dengan usaha yang sadar dan sistimatis, ahwal adalah keadaaan-keadaan jiwa (mental states) yang datang secara spontan dan berlangsung relatif cepat dan tak lama. Selain pengalaman spiritual yang berbeda-beda dari seorang Sufi dalam tarekatnya, intensitas dan kecepatan perjalanannya pun bisa berbeda-beda. Ali Nadwi misalnya menggambarkan perjalanan mistik Rumi seperti burung rajawali (falcon) yang bisa dengan cepat tiba di tangan rajanya, sedangkan ‘Aththar seperti semut. Rumi sendiri misalnya mengatakan,” Seorang Sufi bermi’raj ke Arasy dalam sekejap; sang Zahid perlukan sebulan untuk sehari pejalanan.” Walaupun jalan spiritual ini obyektif, karena dialami oleh orang-orang suci di sepanjang zaman, tetapi pengalaman masing-masing Sufi dalam menempuh perjalanan tersebut adalah subyektif. Dan karena sifat pengalamannya subyektif, maka tidak mungkin kita mengharapkan adanya keseragaman ungkapan dan nama-nama tahapan (maqamat) atau keadaan-keadaan (ahwal) dari seluruh atau masing-masing Sufi. Oleh karena itu wajar, kalau para penulis Sufi berbeda misalnya dalam menamakan maqam-maqam ataupun urutan-urutannya. Al-Kalabadzi, misalnya menyebut maqam-maqam tersebut sebagai berikut: taubat, zuhud, sabar, faqr, tawadhu’, taqwa, tawakkal, ridha’, mahabbah dan ma’rifat, sementara al-Ghazali menyebutnya sebagai berikut : taubat, sabr, faqr, zuhud, tawakkal, mahabbah, ma’rifat dan ridha, sedangkan al-Qusyairi sebagai berikut; taubat, wara, zuhud, tawakkal, sabar dan ridha. Selain perjalanan tersebut digambarkan secara datar dan dalam bentuk prosa, seperti tersebut di atas, ada juga yang menggambarkannya secara simbolis dan dalam bentuk puitis. Farid al-Din ‘Aththar misalnya menggambarkan perjalanan spiritualnya dengan indah dalam karya puitisnya Manthiq al-Thayr sebagai perjalanan panjang dan melelahkan dari burung-burung (yang melambangkan jiwa-jiwa manusia) dalam rangka menjumpai raja mereka “simurgh”. Untuk itu mereka harus melampaui tujuh lembah yaitu lembah pencaharian, lembah cinta, ma’rifat, perpisahan, kesatuan, keheranan, faqir dan fana’. Atau seperti Ibn ‘Arabi yang melukiskan pengalaman spiritualnya secara detail tanpa berusaha memberi nama masing-masing tingkatnya tetapi menceritakan dengan gamblang perjalanan manusia dari tingkat indrawi menuju tingkat imajinal, dan dari dunia imajinasi ke tingkat spiritual murni. Sekurangnya ada 19 tingkatan yang digambarkan Ibn Arabi dalam kitabnya Risalat al-Anwar fima yumnah shahib al-khalwa min al-Asrar, sebelum akhirnya manusia kembali kepada dunia indrawi. Apa yang kita gambarkan selama ini tentang tarekat, adalah pengertian tarekat sebagai perjalanan spiritual, yang juga disebut suluk. Tetapi ada pengertian lain dari tarekat dalam arti persaudaraan atau ordo spiritual. Pengertian ini sebenarnya yang lebih dikenal oleh kalangan luas, seperti Tarekat Naqsabandiah, Sinusiah, Qadiriah dan sebagainya. Tentu bukan tempatnya di sini untuk membahas satu persatu tarekat tersebut, namun beberapa hal tentang tarekat ini perlu dikemukakan. Pertama, tentang metode spiritual dan peranan sang guru (mursyid). Karena tasawuf pada hakekatnya tidak bisa dipelajari lewat buku, maka latihan spiritual berupa dzikr, atau sama’, adalah cara yang efektif untuk memahaminya lewat pengalaman batin. Daripada mengajarkan murid-murid tentang ajaran-ajaran para Sufi, seorang guru akan mengajak murid-muridnya untuk melakukan perjalanan bersama melalui dzikir menuju tuhan, dengan metode yang pernah dialami oleh si mursyid. Dengan begitu sang guru berharap bahwa apa yang pernah ia alami dengan metode yang sama akan juga dialami oleh murid-muridnya. Metode ini harus diikuti dengan disiplin yang tinggi dan dengan penuh ketaatan kepada petunjuk sang guru. Ini terjadi karena sang guru merasa yakin hanya dengan cara itulah maka pengalaman seorang murid akan sesuai dengan yang direncanakan. Dalam hal ini murid tidak boleh protes atau membangkang, dan seorang murid harus bertindak seolah-olah seperti mayat dalam pangkuan orang yang memandikannya. Boleh saja membangkang, tetapi sang guru tidak bertanggung jawab atas kegagalan sang murid yang membangkang tersebut dan tidak ada jaminan bahwa usahanya itu akan berhasil. Jadi inilah kira-kira peranan sang mursyid terhadap muridnya, yakni memastikan bahwa segala hal-ihwal metodenya dijalankan sepenuhnya oleh sang murid. Baru setelah segalanya dijalankan dengan baik, seorang murid bisa berharap sukses dalam upaya tersebut. 

2 komentar:

  1. Manusia bisa mengalami makrifat jk telah mampu menjinakkan hawa nafsunya dan meletakkan egonya dibawah telapak kakinya, sehingga pikirannya selalu berpositif thinking dan hatinya menjadi bersih.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus