Pendakian Spritual

Pendakian Spritual
ALLAH SWT - MANUSIA - ALAM

Selasa, 29 Maret 2011

Martabat Tujuh sebagai Landasan Undang-undang Kesultanan Buton


Martabat Tujuh sebagai Landasan Undang-undang Kesultanan Buton

Sejak awal abad ke-16 dan mencapai puncaknya abad ke-17, merupakan periode paling penting dalam proses pembentukan tradisi pemikiran Islam. Ketika itu perdagangan internasional dan interinsuler semakin luas, seiring dengan fakta kejayaan beberapa kerajaan di Nusantara, antara lain: Aceh, Mataram, Banten, Makassar/Gowa-Tallo dan Ternate. Pada masa itu, landasan tradisi intelektual dan politik diletakkan. Tampak upaya salin-menyalin kitab, penyebaran ide-ide keagamaan antar kerajaan yang direkam oleh historiografi tradisional. Pada masa itu pula terlihat penciptaan komunitas kognitif Islam sebagai tema utama yang disusul dengan munculnya suasana kosmopolitan. Dalam suasana seperti itu maka muncul perenungan pribadi tentang hubungan manusia sebagai makhluk dengan sang Maha Pencipta. Dalam konteks inilah muncul Aceh sebagai “pusat penghasil” pemikiran cemerlang dalam sejarah pemikiran Islam di Asia Tenggara.
Dalam abad ke-17, perkembangan kerajaan-kerajaan di Nusantara, memperlihatkan kecenderungan pandangan sufistik. Paham ini menggambarkan hubungan yang diikat oleh tali kasih, antara “hamba” dan “tuan” antara “raja” dan “rakyat”. Landasannya adalah mengenai keharusan keharmonisan dan kesatuan semesta. Maka dirumuskanlah pemikiran makhluk terhadap Khalik. Dalam konteks itulah Hamzah al-Fansuri menyusun pemikiran sufistik dengan sistematika kosmogoni “martabat tujuh” sebagaimana yang ditulis Muhammad ibn Fad al-Burhanpuri (1590). Hamzah Fanzuri dan Syams-ad-Din Al-Sumatrani, memainkan peran besar dan penting dalam membentuk pemikiran dan praktik keagamaan kaum Muslim di Melayu-Indonesia. Meskipun tidak banyak diketahui menyangkut kehidupannya, Hamzah seorang Melayu yang berasal dari Fansur (Barus), pusat pengetahuan Islam di Aceh Barat Daya, hidup dalam masa sebelum dan selama pemerintahan Sultan Aceh bernama ‘Ala‘ Al-Din Ri‘ayat Syah, berkuasa tahun 1589-1602 (Azra 1994: 166). Syam ad-Din adalah murid Ham zah. Mereka pendukung terkemuka penafsiran mistiko-filosofis wahdat al-wujud dari tasawuf (Azra 1994: 168).
Pemikiran tentang negara pun mulai bergulir. Negara yang ideal dalam pandangan faham sufi adalah suasana yang memungkinkan terjadinya kesatuan dan keharmonisan yang utuh antara “makhluk” dan “al-khalik”, antara rakyat dengan raja. Konteks keilahian adalah suasana adil. “Raja di dalam negeri adalah seperti nyawa di dalam tubuh adanya. Maka jika nyawa itu bercerai daripada tubuh itu niscaya binasalah tubuh itu” (Abdullah 1996: 81, mengutip dari Tajus Salatin).
Hasil studi Milner (Milner 1982) tentang kerajaan Islam-Melayu memperlihatkan bahwa “kerajaan” adalah situasi tentang sosok raja. Raja adalah unsur esensial dari adanya kerajaan, yang digambarkan secara megah dan mewah. Negara merupakan perpanjangan dari pribadi sang raja, jadi bukan struktur maupun organisasi kekuasaan. Negara ideal adalah sesuatu yang dicitrakan berdasarkan konsep bahwa “negara moral” itu dipantulkan oleh sifat adil raja. Oleh karena itulah di dalam historiografi tradisional, diperlihatkan bahwa raja dan negara harus dilihat dari pendekatan sufistik, bukan dari sudut pandang fikih atau syariat.
Munculnya ajaran ini dalam dunia tasawuf adalah konsekuensi penerimaan atas adanya pengalaman (seorang sufi) tentang fana dan baqa. Konsep “martabat tujuh” adalah ajaran dalam tasawuf teosofis yang bertolak dari konsep bahwa hanya Tuhan yang satu-satunya wujud hakiki. Agar ia dikenal, maka Tuhan menampakkan diri-Nya (tajalli). Penampakkan diri Tuhan melalui “tujuh tingkatan” yang disebut “martabat tujuh “.
Tingkat pertama adalah “martabat ahadiyyah” yang berarti zat Allah semata, yang tidak dicontohkan dengan sifat. Karena zat Allah semata-mata tidak diberi sifat dan nama (asma), maka tidak ada jalan akal untuk mengetahui-Nya. Kedua, adalah “martabat wahdah” adalah sifat Allah dalam tingkat “kenyataan pertama”. Di sinilah permulaan akal dapat mengetahui sifat Allah, seperti sifat salbiyyah dan sifat wujudiyyah. Ketiga adalah “martabat wahidiyah‘‘, asma Allah. Ini merupakan “kenyataan kedua”. Dalam tingkat ini Allah dapat dikenal oleh akal melalui asma-Nya, sebab asma-Nya. itulah menunjukkan zat-Nya. Ketiga martabat tersebut di atas adalah qadim (tidak bermula) dan baqa (kekal selamanya). Keberadaannya tidak dipahami atas dasar urutan waktu, melainkan dari segi akal.
Martabat keempat adalah “martabat alam arwah”. Inilah permulaan nyawa, baik bagi manusia maupun makhluk lainnya. Nyawa yang pertama dijadikan adalah nyawa Nabi Muhammad s.a.w. Oleh karena itu, ia bergelar “abu al-arwah“ artinya “bapak segala nyawa”. Arwah atau ruh dalam bahasa Arab artinya “pergi”. Kelima “martabat alam mitsal, yaitu perumpamaan segala keadaan, selain keadaan Tuhan. Karena hanya sebagai perumpamaan, alam mitsal ini keadaannya halus, tidak dapat dijangkau oleh panca indera. Yang keenam adalah “martabat alam ajsam” yaitu segala keadaan yang nyata, seperti api, air, tanah, semua yang dapat dibagi dan disusun. Yang ketujuh adalah “martabat alam insan”, yaitu yang disebut manusia. Alam ini disebut juga “martabat jam‘iyyat”, artinya tingkat yang mengumpulkan segala dalil yang menunjukkan keadaan Tuhan yaitu sifat jalal dan jamal.
Dalam diri manusia inilah berkumpul dua perumpamaan, yaitu ruh sebagai perumpamaan dari al-haq (Tuhan), dan badan atau tubuh sebagai perumpamaan al-khalq (ciptaan). Hal ini karena manusia memiliki sifat dua puluh seperti sifat dua puluh yang wajib bagi Tuhan; dan karena segala sesuatu sifat yang ada pada tubuh manusia ada pula pada alam besar. Sebagai perumpamaan, batu pada alam besar ditamsilkan dengan tulang dan daging pada manusia; angin ditamsilkan dengan napas manusia. Dalam hubungan ini manusia disebut juga sebagai “alam kecil” (“mikro-kosmos”) sedangkan alam yang ada di luar manusia disebut “alam besar” (“makro-kosmos”). Segala sesuatu yang ada di alam ini ada tamsilnya dalam diri manusia (Yunus, 1995: 96-98).
Ajaran wujudiyyah yang berkembang di Aceh itu pada awal abad ke-17 dibawa ke Butun oleh Syarif Muhammad atau Firus Muhammad (Yunus 1995: 67). Menurut tradisi lokal, La Elangi “memperlihatkan” Sarana Wolio yang berciri dan bernafaskan Martabat Tujuh kepada Gubernur Jenderal VOC, Pieter Both, ketika mengunjungi Butun pada tahun 1615. Martabat Tujuh mengacu pada ajaran mistik sufisme pada awal abad ke-17 di Aceh. Dari hasil penelitian Yunus atas tiga naskah di Butun, dapat disimpulkan bahwa ajaran Martabat Tujuh telah ada sejak perempat abad ke-17, pada masa La Elangi, bergelar Sultan Dayyan Disan ad-Din (1578-1615) (Yunus, 1995: 67).
Tujuh tingkatan itu diidentikkan dengan tujuh kedudukan di dalam pemerintahan kesultanan. Tiga tingkatan dari tujuh martabat yang merupakan hakikat Tuhan ditempati oleh tiga cabang bangsawan: Tanailandu, Tapi-tapi dan Kumbewaha (Kamboru-mboru Talu Palena). Sedangkan empat tingkatan di bawahnya diisi oleh jabatan-jabatan: Sultan, Sapati, Kenepulu, Kapitalao. Oleh karena dalam perkembangannya kemudian muncul pangka yang baru, yakni Lakina Sorawolio, suatu daerah penting bagi pertahanan kraton, maka posisi sultan diganti dan menempati “alam barzah” (Yunus, 1995: 120-1). Kedudukan Sultan adalah sebagai penghubung antara tiga tingkat pertama dan empat tingkat kedua. Alam ini tempat persinggahan atau penghubung dari alam kehidupan manusia di dunia fana menuju alam kekal: akhirat. Sapati adalah jabatan pelaksana pemerintahan, semacam Perdana Menteri sekarang. Kenepulu adalah Hakim Agung, dan kapitalao adalah penguasa laut dalam hal ini ada dua yakni bagian timar kapitalao matanaeo dan bagian barat kapitalao sukanaeo.
Penulis : Hariru
Editor  : Laode Syafaruddin M
Sumber:
This entry was posted in Biografi Hukama & Arifin, Ibrah Sejarah, Irfan. Bookmark the permalink.

Senin, 07 Maret 2011

Saudara Se-Lahiria Dan Saudara Se-batinia

Saudara Se-Lahiria Dan Saudara Se-batinia

Melalui Nur kekasih_NYA Manusia diciptakan,…
Dengan di ikhlaskan Islam sebagai Agama smua umat manusia,..
Tidak meliah warna kulit, suku, bahasa, adat – istiadat, dll,…
Berawal dari manusia pertama Nabi Adam as sebagai bapak lahiria,…
Beranak pinak di alam ( Bumi ) ini untuk melunasi dengan mencari atas janji yang telah disepekati,..
Masa ( waktu ) yang begitu panjang, bumi semakin tua dan manusia ada yang meninggalkan dan adan yang memulai pencahariannya,..
Melintasi proses demi proses kehidupan dalam pencahariaan, manusia pada nantinya akan meninggalkan serta mempertanggung jawabkan atas apa yang sudah di janjikan,..
Aku manusia dilahirkan dalam sebuah keturunan lahiria sebagai seorang saudara lahiria atas saudara – saudara selahiria ku,..
Bimbingan dan tuntunan akan di turunkan atas orang tua, kakek/nenek, kakek/nenek moyang dari sekian lapis keturunan dari saudara se lahiria,…
Manusia ( AKU ) memiliki keterbatasan atas apa yang aku dapatkan siapa/ dilapis keberapa keturunan lahiria aku berasal,..
Saudara se batin yang sudah meninggalkan merupakan dari keturunan yang ke sekian lapis dari saudara lahiria menitis ke saudara cucu lahiria ( yang masih hidup ),..
Saudara se batin itu pun yang selalu membimbing saudara lahirianya atas perintah Allah swt,…
Saudara se lahirialah merupakan penerus Visi dan Misi atas saudara sebatin,…
Dimana sadar dan tidak sadarnya saudara selahiria itu memiliki sebuah tanggung jawab yang besar untuk meneruskan Visi & Misi yang sudah di janjikan,..
Setiap saudara sebatin dan saudara selahiria memiliki peran yang berbeda – beda satu sama lain dalam tugasnya mencapai Visi & Misi, samapai pada akhirnya nanti pencapaian itu di padang masyar di kumpulkan untuk di peranggung jawabkan,..
Maka, dengan demikian kita semua umat manusia adalah merupakan keturunan yang sama, yang berasal dari nabi Adam sebagai saudara selahiria dan Nur Sang Kekasih ( Nur Muhammad ) sebagai saudara Batinia,…
Dalam proses kehidupan kita dituntun dan dalam sadar atau tidak jika kita dapat memahami segala proses perkenalan yang kita jalani dalam kehidupannya nyata akan dipertemukan dengan saudara kita baik yang selahiria maupun sebatinia,..
Melalui proses itu kita manusia akan dibukakan tabir – tabir penjelasan melalui proses pencaharian manusia akan perannya masing – masing di dunia,..
Berdasarkan sekepahaman pendapat, sifat, kelebihan kita manusia mengenal siap saudara kita sebatinia yang berada dalam kehidupan kita slama ini,..
Dengan kelebihan itu manusia di keluarga batinia seringkali lupa atas apa yang menjadi tanggung jawab yang dirurunkan padanya atas kelebihan itu, sehingga pada akhirnya kesombongan yang menjadi besar dalam kehidupanya, menjadikan sebuah nilai jual yang perjual belikan, menjadikan nilai matrealistis dalam memperkaya kehidupan lahirianya, sampai tidak sadar bahwasanya kelebihan itu adalah merupakan turunan dari saudara sebatinianya yang lambat laun jika tidak di fahami akan putus sampai dari keturunan selahiria lapis kesekian,…
Maka, dari itu kita manusia harusnya dengan sikap mensyukuri atas kelebihan yang dititipkan Allah swt melalui saudara sebatinia dan turun kesaudara selahiria untuk bersyukr dengan memanjatkan Do’a kepada Allah swt, Nabi Besar Muhammad swa beserta keluarga dan para sahabatnya, Saudara sebatinia kita yang sudah meninggalkan, dan Kedida orangtua ( Malaikat di Dunia ) dan saudara selahiria kita agar diberikan pengampunan dosa dan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat,..
Hari ini aku sadar atas apa yang aku pikirkan akan siapa sebenarnya saya ( Manusia ) esok mengapa aku lupa atas itu,..
Dan apakah ini disebut kesadaran/sadar dimana mengetahiu apa yang dilarang dan apa yang di suruhkan oleh Allah swt tetapi tidak menjalankan,…
Apakah aku sadar apa yang sudah aku berikan dan syukuri atas apa yang kedua orang tua ( Malaikat di Dunia ) berikan pada aku,..
Semuanya terbawa kesombongan, keangkuhan, atas Nafsu yang menjadi penghangalang tabir – tabir akan kesadaran diri mengingat Allah swt,..
Raga adalah benteng batin yang menjadi penghalang, peperangan selalu berlangsung atas apa yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan,…
SEMOGA BERMANFAAT,…bagi diriku dan pembaca,….

Sabtu, 05 Maret 2011

Percaya pada reinkarnasi dan Islam


Percaya pada reinkarnasi dan Islam
Aku dicipta dalam sebuah penciptaan,…
Aku berjanji dalam sebuah perjanjian,..
Aku mencari dalam sebuah pencahariaan,…
Aku Meninggal dalam sebuah peninggalan,…
Aku menanti dalam sebuah penantian,…
Dimana Aku dicipta, dimana aku berjanji, dimana aku mencari, dimana aku meninggal, dimana aku menanti,…?
Bahwasanya demi masa manusia dalam keadaan merugi jika tidak menggunakan akalnya untuk mengetahui dari proses penciptaan sesampainya proses penantian,..
Timpat/alam bumi yang kita kenal selama ini begitulah sempit dimana dalam pergantian waktu kita dilahirkan disini dan ada yang meninggalkan di belahan lain,Proses itu begitu singgkat jika kita dapat memahamimnya, dimana manusia sangat lah merugi.
” Perpindahan malam ke siang dan perpindahan siang ke malam; dan masuknya hidup dari mati bagi siapa saja yang disukainya dengan tidak menghitung. Tuliju al-layla fi an-nahari, wa-tuuliju an-nahara fi al-layli, wa tukhriju al-hayya min al-mayyiti, wa-tukhriju al-mayyita min al-hayyi, wa-turziqu man tahsa’u bi-ghayri hisaabin.(Qur’an, 3:27) dan (Arbery 1955, I:76).
“Bagaimana mungkin banyak manusia yang lahir sedangkan jumlah arwah tetap?”
Apakah satu arwah dapat menitis lebih dari satu kali,.?
 “Tuhan punya kekuasaan menciptakan sesuatu dari yang tidak ada. Tuhan Maha Kuasa dan dapat membuat banyak dari apa saja. Ia memberi siapa saja sebanyak yang Ia suka, sedikit atau banyak, tanpa memperhitungkan; bagi Tuhan segala sesuatu mungkin. Karena ditulis dalam Qur’an, soal roh/arwah merupakan rahasia Tuhan sendiri. Tidak seorang pun dapat mengatakan mengapa kini ada banyak roh /arwah sedangkan biasanya hanya ada sedikit saja, atau sebaliknya. Alam arwah hanya diketahui Tuhan saja. Pengetahuan manusia tentang roh/ alam arwah hanya diberi tuhan sedikit saja, sedangkan urusan roh adalah urusan Allah SWT. ” (Arberry 1955, I:311-312). Namun demikian walau hanya sedikit diberikan oleh tuhan kepada manusia tentang pengetahuan roh, namun bagi manusia  yang diberi kelebihan atau rahmat oleh Allah SWT pengetahuan sedikit itu sudah amat luas karena jiwanya sudah bisa melepas dari tubuhnya sejenak untuk pergi melanglang buana ke 7 (tujuh) lapis langit dan 3 (tiga) alam sesudahnya untuk mengetahui tentang roh atau arwah. Maka bagi manusia-manusia yang diberi rahmat itulah yang bisa mengetahui urusan roh / arwah atas izin Allah SWT

Rabu, 02 Maret 2011

Hanyalah Sebuah Nama

Hanyalah Sebuah Nama

Aku dalam Kesendirianku, Terbaring Lesu melihat fenomena-fenomen perubahan Kehidupan dari Zaman demi zaman. Tidak adanya lagi Sebuah Norma, Agama, Dan Adat Istiadat Yang Dulunya Merupakan Modal Dasar & Ciri Has Bangsa ini.

Landasan dasar Hukum, HAM yang tertulis membalikan Cara Pandang Kita dalam Menerawang Perkembangan Zaman, Dimana Hukum Serta Tegaknya HAM merupakan Awal Majunya Ekonomi & dapat di persandingkan Dengan Sebuah Nama Negara Maju.

Kebingunganku menghantarkan aku untuk meneliti & bertanya pada diriku, apakah aku yang Kuno dan berpikiran primitif dengan tidak mengikuti perkembangan Zaman Atau mereka yang merasa diri berkuasa memeta-metakan, memberi sekat antara yang kaya & miskin, yang berkuasa & dikuasai, Pintar & Bodo dll.

Satatus sosial diatas segalanya, cara pandang melihat setiap individu dalam kehidupan skarang ini. Perbedaan strata menjestifikasi seseorang sebagai makhluk yang rendah & terhina.
Bangsa ini telah kabur melihat rakyatnya, dengan berlomba - lomba menyuarakan suara kaum rakyat miskin kota untuk mendapatkan sebuah jabatan di atas sana, dan setelah mereka terpilih mereka enggan turun bahkan menoleh untuk melihat kesengsaraan apa yang dirasakan oleh Rakyat. Mereka lebih senang duduk dikursi empuk dengan ruang berAS, Memakai mobil mewah, Gaji yang besar serta perlengkapan - perlengkapan lain yang serba ada.Mereka lupa atau emang pura - pura lupa bahwa pangkat & jabatanya di pertukarkan dengan kesengsaraan Rakyat.

Hanyalah Sebuah Nama, bangsa yang besar, Pluralis, memiliki kekayaan alam yang berlimpah serta masyarakatnya yang ramah hidup dalam sebuah sangkar Emas dimana kemerdekaan indifidu hanyalah milik kaum berada, kaum miskin dituntun untuk bekerja keras untuk mengais sesuap nasi dan seterusnya memikirkan besok mau makan apa & itulah yang terus, terus & terus menerus bagai lingkaran setan bagi kaum miskin kota. Hidup dalam penjara yang memiliki limpahan karunia yang kaya

“ LINTAS LOPOBATTANG – BAWAKARAENG “ Oleh : LM.Nuzul Ansi Makarata

“ LINTAS LOPOBATTANG – BAWAKARAENG “
Oleh : LM.Nuzul Ansi Makarata


Selasa 29 Desember 2009, Pukul 12.45. usai Sholat Lohor pendakian Lopobattang – Bawakaraeng dimulai, kami berangkat beranggotakan 7 orang anggota dengan didampingi oleh 3 Orang Pendidik senior yang sudah sangat berpengalaman di dalam dunia kepencinta alaman sehingga keseluruhan berjumlah 10 0rang anggota dalam 1 tim.
Pendakian ini bertujuan untuk memperdalam materi yang didapatkan sebelum brangkat kelapangan dimana pendakian ini pada awalnya untuk menemani saudara - saudara dari mapala Solitaire MPA Fakultas Hukum ( Banjarmasin ) untuk mengadakan Tahun Baru 2010 di puncak Lpobattang – Bawakaraeng.
Pendakian diawali di Kampus Merah Unhas yaitu tepatnya di sekeretariat MPA. Edelweis Ilmu Budaya Unhas, Perjalanan dempi perjalanan kami lewati dengan penuh canda tawa dalam Minibus ( PT2 ) yang penuh desak – desakan dan hiruk pikuk penumpang mulai awal kita menumpang di PT2 07 Kampus jalur Peterani dan melajutkan sampai keterminal Mobil jeneponto dengan beberapa perjalanan yang sangat melelahkan serta pikiran – pikiran yang selalu melayang di benak aku bahwa pengen skali cepat sampai pada tujuan untuk melanjutkan kepetualangan ini, diperjalanan sering kami bertanya kepada pembimbing yang sudah sering skali terdengar namanya dikalangan Anak _ anak Pencinta Alam Makassar yang juga merupakan sebuah Guru/Abang ( Bang NEVY ) bagi kami, beliau memberikan kami beberapa gambaran – gambaran tentang jalur serta apa yang perlu disiapkan baik itu fisik jasmani maupun rohani diman petualangan / pendakian itu bukan hanya sebuah olah raga melainkan adalah penyatuan ketiga unsur antara Hubungan Kami Manusia dengan Maha Pencipta Allah SWT, Hubungan Manusia dengan Alam Serta Hubungan Manusia dengan Manusia itu sendiri.
Memasuki sekitar waktu sore hari dengan ditandainya Azan Magrib kami sampai ke tempat pernginapan yang biasa anak – anak pendaki lain menginap sebelum melakukan pendakian, seperti biasa pada umumnya masyarakat sulawesi selatan yaitu saling tolong menolong dan membantu satu sama lain tidak melihat baik siapa dia suku, agama, adat istiadat, kulit dll. Semua ditrima terbuka dengan lapangdada, Sebelum melakukan pendakian keesokan harinya yaitu Rabu, 30/12/2009 kami meginap semalam sambil mengembalikan stamina untuk pendakian besok, malam yang terasa begitu panjang dan larut dengan sunyi tidak adanya hiruk pikuk benderang bisingan kota kami terlelap tanpa seperti biasanya dimana hari – hari kami di kota selalu melewati malam dengan canda gurau, mendengarkan musik, kegiatan – kegiatan yang selalu membosankan dan tanpa arti.
Kicauan burung, percikan hujan dikala itu musim hujan, kokokkan ayam jantan serta tiupan angin – angin pagi pegunungan membangunkan kami pagi itu. Kami bangun dengan menghirup udara pagi yang sejuk dan alami dimana tidak adanya polusi dan pencemaran udara hasil asap kendaraan, pabrik – pabrik serta debu – debu yang bertebaran dimana yang ada oksigen dari tumbuh – tumbuhan pegunungan yang sejung yang terhapar hijau dimana – mana serta tiupan agin yang dingin menambah inidahnya pagi itu. Setelah bergegas menyiapkan perlengkapan dan semua yang akan dibawa serti tidak lupa sarapan dan berdoa sekitar Pukul 09.00 pagi Rabu, 30/12/2009 kami mulai melakukan pendakian Pos demi Pos kami lewati dengan setiap Pos kami selalu diberikan penyegaran materi kepada pembimbing sekaligus Abang kami.
POS 1 di pos ini adalah merupakan adanya sumber Air dimana Airnya jernih, alami dan dingin karena hasil langsung dari pegunungan oleh karena itu kami tidak perlu lagi memasaknya bisa langsung diminum, disini kami disarankan untuk membawa Air minum sebanyak – banyaknya sesuai kemampuan dimana pada musim kemarau saat ini di POS 3 yang biasanya Pendaki terakhir mendulang air,aliran Air sungai kering. Untuk menuju Pos selanjutnya Pos 2 kondisi medanya Treking begitu juga Pos 3. Perjalanan demi perjalanan melalui beberapa Pos akhirnya kami sampai di POS 3 dan syukur saja kami banyak mendulang Air di POS 1 dimana di POS 3 ini tidak mengalir Air sungai, sebelum melanjutkan perjalanan kami beristrahat sejenak dengan menuangkan Kopi Panas serta memakan cemilan bekal yang dibawa, seperti biasa setiap kali kami berhenti berisatrahat kami selalu diberikan sebuah materi – materi tentang kepetualangan dimana yang terpenting dalam setiap pendakian bukan berapa puncak yang kami taklukan melainkan apa manfaat dan proses yang kamu raih dalam setiap pendakianmu itu dimana apa guna mendaki setinggi dan sebanyak mungkin gunung tetapi yang diadapat hanyalah capeh dan sebuah ketidak jelasan hasil yang diraih. Oleh karena itu setiap melakukan sesuatu baik itu mendaki atau apapun selalu diawali dengan kata “ NIAT ”. Perjalanan kami lanjutkan untuk menuju puncak Lopobattang dengan jalur yang kami belum pernah lalui merupakan sebuah kepetualangan sejati dimana rimbunya Hutan, pepohonan – pepohonan yang sangat langka dan jarang dilihat diperkotaan, kicauan burung – burung, hembusan angin menambah dinginya walau saat itu matahari berada pas diatas kepala tetapi terasa sejuk dalam hamparan pepohonan hutan yang lebat dan rimbun. Perjalanan setapak demi setapak dengan tangga bebatuan yang sangat licin setelah habis dibasahi hujan, daun – daun pohon yang gugur, serta ranting – ranting kayu yang patah dimakan zaman berjatuhan disekeliling kami. Sebuah proses Rantai makanan yang selau berputar mengikuti fungsi dan kegunannya serta menambah semarak perjalanan ini akan sebuah keyakinan bahwa Maha Besarnya Allah SWT akn sebuah ciptaan_Nya.
Tidak terasa perjalanan yang kami lakukan sudah begitu jauh kami sampai juga di POS 9, di pos ini kami Kamp semalam dengan berada pas beberapa meter dari puncak dimana para pendaki mengambil kamp di Pos ini karena dipuncak tidak cocok tempat untuk mendirikan tenda. Pas sesampainya kami dengan tanpa adanya himbauan / komando kami langsung membagi tugas ada yang mendirikan tenda ada yang menyiapkan makanan dan ada pula yang mengambil air di mata air pegunungan, setelah semua selesai dengan tugasnya masing – masing kami sarapan setelah itu beberapa menit bercerita – cerita tentang jalur yang dilewati tadi serta saling menanyakan kondisi masing peserta. Untuk menyiapkan stamina untik pendakian selanjutnya kami bergegas untuk istrahat dan tidur, tetapi aku lebih memilih menghabiskan malam sendiri diluar tenda dengan ditemani secangkir kopi, sebatang rokok dan terangnya rembulan betapa indahnya maha Ciptan_nya dimana terhampar luas malam yang sunyi dengan pemandangan lampu kota yang terang benderang dikejuhan sana bintang – bintang yang bertaburan bagaikan sebuah mutiara menantikan matahari pagi. Malam itu dingin dimana ketinggian sekitar 2000 m lebih dari permukaan laut. Ditengah malam itu dalam kesendirianku di luar tenda dengan teman – teman anggota lain yang sudah terlelap tidur aku membayangkan dalam pikiran aku yaitu “ apakah aku bodo, gila, sinting dengan sebuah sikap yang tidak dan sangat jarang orang lakukan melakukan petualangan mendaki gunung dengan cuaca yang tidak mendukung menati detik-detik pergantian tahun, jika dibandingkan oleh orang – orang pada umumnya di sana bersenang – senang, foya – foya, mengunakan apa yang mereka mau, yang semua serba materi. Tetapi aku yakin dengan pilihan aku bahwa semua kehidupan didunia ini punya jalan masing – masing dimana setiap pilihan pastilah ada manfaatnya serta sesuatu hal tidak perlu dibatasi dengan sebuah materi karena materi itu akan habis adanya dimana yang terpenting untuk bagaimana terus berjalan, belajar, bertualang, berproses, untuk mengetahui siapa aku dan siapa tuhan ku dan yang utama menuju puncak kehidupan abadi selamanya..
Seperti biasanya didalam sebuah hutan lebat dan dingi diketinggian kami terbangun dalam suasana mengirup sejuknya udara pagi, matahari yang terang benderang terbit disebelag barat menambah indahnya panorama pagi itu, Sekitar pukul 08.00 pagi Kamis, 31/12/2009 setelah menyiapkan segala sesuatunya dengan segera kami melanjutkan perjalanan, setiba dipuncak kami dan teman – teman dari kalimantan tidak lupa berfoto-foto untuk mengambil dokumentasi buat sebagai kenang – kenangan.
Orang sering bertanya apa yang kamu dapatkan sesampai di puncak sekedar foto tidak sebanding dengan apa yang kamu lakukan itu merupakan jawaban orang awam yang tidak pernah melakukan apa yang tidak dilakukanya. Dalam dunia anak – anak petualang seperti Mahasiswa Pencinta alam berfilosofi bahwa jangan engkau mengambil sesuatu yang bukan milikmu kecuali itu sangat penting, jangan engkau meninggalkan sesuatu kecuali itu jejak, dimana Alam adalah diciptakan bagi kami manusia untuk dijaga dan dilestarikan dan Alam merupakan Guru bagi kami anak manusia untuk mengetahui apa yang kami tidak tahu dimana semua ilmu yang kami pelajari berasal dari alam, setiap langkah yang engkau daki mengajarkan dan mengambarkan siapa kamsebenarnya.
Setelah mengambil dokumentasi secukupnya kami bergegas melanjutkan perjalanan dimana kami harus bisa secepat mungin melangkahkan kaki selangkah demi selangkah karena maks. Waktu yang ditempuh untuk sampai di lembah Karisma tempat keputusan awal Kamp seelum ke Puncak Bawakaraeng sekitar 5-6 jam. Dari puncak Lopobattang ke lembah Karisma kondisi medan yang sangat begitu beragam dimana beberapa punggungan kami lewati dengan selalu menurun serta diasamping jurang yang sangat terjal dan kondisi tanah dan bebatuan yang licin oleh karena itu kami harus hati – hati, perjalanan kali ini melewati padang rerumputan yang ditumbuhi bunga edelweis yang merupakan tumbuhan langka dan sangat jarang diketemukan dimana hidupnya cuman ditempat – tempat ketinggian dimana pula itu mengikuti musimnya, dan betapa beruntungnya kami dimana pada saat ini merupakan musim tumbuhnya bunga edelweis.
Memasuki waktu magrib kami sampai juga di Lembah kharisma dan sesuai seperti biasanya kami membagi tugas masing masing untuk menyiapakan segala sesuatu perlengkapan untuk Kamp, Malama ini adalah malam penantian detik – detik tahun baru 2010 sebuah tahun yang baru dan sebuah petualangan yang pertama bagi aku dengan melintasi dua Puncak Gunung Lopobattang – Bawakaraeng, malam yang sangat panjang kami melingkar di tengah – tengah api unggun sambil bercerita, merenung, Berdoa, mengharapkan semoga tahun 2010 ini akn menjadi sebuah tahun yang membawa sebuah hari – hari yang baik dan terutama bagi bangsa dan saudara – saudara kami kaum miskin kota agar pemerintah bisa terketuk hatinya bahwa sebhagian dan tanggung jawab kami adalah memberi kehidupan yang layak kepada mereka, agar juga supaya tidak adanya bencana – bencana yang menimpa bangsa kami.
Detik – detik penantian sebuah keinginan, harapan, dan cita – cita. Sebagai anak bangsa yang memegang status mahasiswa adalah tanggung jawab yang erat yang kami embang / pikul dimana di pundak kami terletak sebuah bangsa ini untu kedepanya. Kami mahasiswa pencinta Alam sudah muak dengan semua atas apa yang terjadi panji – panji negara diperjual belikan atas dasar simbol – simbol organ – organ yang melatar belakangi kepentingan, sana sini terjadi pertumpahan darah, saudara – saudara kami dilecehkan dengan bangsa lain, mau dikemanakan harga diri bangsa ini jika setiap waga negaranya lebih mementingkan keegoisan pribadinya tidak meliah pluralisme, rasa nasionalisme yang mana sudah membentuk dasar negara ini. Para pejuang nenek moyang kami menangis di alam sana melihat atas apa yang telah mereka dirikan di ombrak amrik oleh cucunya sendiri.
Apakah kami harus diam, apakah kami harus mengalah, apakah kami harus lakukan ketika semua itu membisu menanyakan dan mencari siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini. Bagaiman kami merasakan indonesia apa yang dirasakan indonesia yaitu dengan cara mendekatkan diri dengan rakyatnya, dengan melepas simbol – simbol, slogan – slogan dimana karena itulah kami naik gunung.
Keesokan harinya jum’at 01/01/2010 pukul 08.30 kami bersiap – siap untu melanjutkan perjalanan menuju puncak bawakaraeng, jalur dan kodisi medan mendaki trus dimana melaewati punggungan gunung yang penuh dengan bebatuan melalui POS 13 Baeawakareng sampai puncak, perjalanan pendakian ini kami di guyur hujan dalam perjalanan ditemani dinginnya angin dan kabut menambah jarak pandang yang sempit serta jurang diasamping kiri kanan menambah ekstrimnya petualangan ini. Ada banyak hal yang kami dapatkan disekeliling kami dalam jalur ini dimana hutan dan gununng hitam rerumputanya dikarenakan habis terbakar oleh ulah – ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab membakar dan membuang apa sembarangan. Kali ini aki bersedih atas apa yang telah menimpa alam kami dan di tambah lagi terjadinya di puncak Bawakaraeng dimana puncak / Gunung ini menyimpan beberapa misteri yang sangat di percaya oleh masyarakat sulawesi selatan khususnya. Sering kita mendengar adanya prosesi Haji setiap bulan haji di puncak ini yang katanya merupakan sebuah kepercayaan masyarakat bahwa ini merupakan sebuah miniatur Mekah yaitu tempat melakukan Haji. Tetpi ada banyak masyarakat yang menyalah gunankan dengan meminta sesuatu sampai sesembahan guna mendapatkan sesuatu hal, dimana pada dasarnya puncak Bawakaraeng adalah merupakan sebuah puncak yang menyimpan berbgai macam misteri dan kebudayaan khas daerah yang harus dilestarikan.
Sesampai dipuncak seperti biasanya kami mengambil dokumentasi dan serta mendirikan Kamp dabawah sekitar 100 M dari puncak. Di puncak Bawakaraeng sini ada sebuah mata Air yang Airnya tidak pernah habis walaupun musim kemarau dan ini merupakan sebuah mukjizat yang sangat langka.
Malam yang begitu panjang dimana setelah makan tiba – tiba ada pendaki lain yang sedang naik pula dan ternya merupakan teman – teman kami yang awalanya kami sudah janjian bahwa akan ketemu di puncak tahu baru, kami pun gabung bertetangga tenda dengan teman – teman yang baru datang sambil menunggu datangnya pagi kami pun menghabiskan malam dengan bercerita satu sama lain dalam cerita kami sala seorang teman yang baru datang menyampaikan kabar duka bahwa Mantan Presiden Abdul Rahman Wahit ( Gusdur ) telah berpulang kerahmatulah “ Inalilahi Waina Ilahi Rajiun “
Indonesia Berduka dimana Bapak bangsa berpulang meninggalakan hasil karyanya yang telah memberikan sumbangsi baik pemikiran dimana yang dikenal seorang bapak bangsa yang pluralis tidak membedabedakan Agama , suku bangsa dll serta berpikiran luas dan terbuka. Semoga amal segal perbuatanmu ditrima disisi Allah SWT, Amien,…….
Sabtu, 02/01/2010 sekitar pukul 10.00 kami bergegas menyiapkan perlengkapan untuk turun gunung, sebelum turun kami gabung dengan teman – teman yang semalam baru datang untuk berfoto – foto sejenak, setelah itu kami melanjutkan perjalanan untuk turun. Dan turunya kali ini kami terutama saya akan melewati jalur yang aku juga blum pernah lewati yaitu jalur Kandreapia yaitu percabangannya berada pada POS 8 Bawakaraeng. Dimana yang biasanya aku lewati yaitu melalui Lembbana. Tetapi katanya jalur disini sangat mengirit waktu 1-2 jaman dibading lembana. Dan kondisi medanya sangat licin dimana lumpur apalagi masuk musim peng hujan. Beberapa jam sudah kami jalan sekitar sore hari kami pun sampai disebuah desa tempat mengambil mobil disini kami bergegas mencari mobil dengan menelpok kenalan yang biasa mengantar teman – teman pendaki Naik/turun gunung.
Lama menunggu akhirnya kami pun kedatangan mobil, kamipun bergegas menaikan kerel ketas mobil dan langsung cabut pulang ketempat awal Brangkat Kampus Unhas, diperjalanan kami singgah sarapan dimana sejak bagi tadi digunung terakhir makan setelah itu kami pun melanjutkan perjalanan pulang dan alhamdulilah samapi dengan selamat Tim kami dalam Pendakian Lintas Lopobattang – Bawakaraeng.

THE AND

" ALASAN KAMI NAIK GUNUNG "

" ALASAN KAMI NAIK GUNUNG "

Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami
Kami katakan bahwa :
Kami adalah manusia - manusia yang tidak percaya pada slogan
Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan - slogan
Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya

Dan mencintai tanah air Indonesia
dapat ditumbuhkan dengan mengenal
Indonesia bersama rakyatnya dari dekat

Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda
harus berarti pula
pertumbuhan fisik yang sehat

ANALISIS PERNYATAAN SOE HOK GIE DAN MAHASISWA PENCINTA ALAM (seri dinamika kepencintaalaman Indonesia) Oleh : Nevy Jamest

Sambungan,..

ANALISIS PERNYATAAN SOE HOK GIE
DAN
MAHASISWA PENCINTA ALAM
(seri dinamika kepencintaalaman Indonesia)
Oleh : Nevy Jamest

Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami
Kami katakan bahwa :

Kami adalah manusia - manusia yang tidak percaya pada slogan
Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan - slogan
Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat
kalau ia mengenal objeknya

Dan mencintai tanah air Indonesia
dapat ditumbuhkan dengan mengenal
Indonesia bersama rakyatnya dari dekat

Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda
harus berarti pula
pertumbuhan fisik yang sehat

Karena itu Kami naik gunung”


Pernyataan Soe Hok Gie diatas jika di runut dari akhir ke awal atau dipahami (dibaca) dari kata terakhir ke kata pertama; maka akan menjadi :

1. Karena itu Kami naik gunung :
2. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula
pertumbuhan fisik yang sehat

“ Jika MPA Indonesia mendaki gunung
(dengan mendaki gunung)

maka
Fisik dan Jiwa MPA Indonesia akan sehat
(di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat, maka bersembahyanglah)

3. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal
Indonesia bersama rakyatnya dari dekat

Dan,
Saat MPA Indonesia naik gunung
maka akan terjadi interaksi dengan lingkungan


4. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya

Dan,
Proses interaksi akan bermuara pada pengenalan
(dengan seluruh tingkatan pengenalan)

Dan,
Dari pengenalan yang mendalam
akan hadir kata cinta anugrah Illahi

5. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan - slogan
6. Kami adalah manusia - manusia yang tidak percaya pada slogan

dan,
kehadiran cinta anugrah Illahi
akan membentuk kesadaran untuk peduli
(beralaskan kecintaan)

dan,
Sikap kesdaran untuk peduli
akan berujung keikhlasan untuk membantu
(membantu dalam kebaikan; ciri kepahlawanan)

Dan,
Ini semua tidak mungkin diperoleh dengan kebohongan
(lain ucapan lain pula tindakan)

dan
sikap membantu dalam kebaikan
merupakan
salah satu fungsi dasar manusia

dan,
Manusia yang dimaksud
Adalah
Mahasiawa Pencinta Alam (MPA) Indonesia

7. Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami Kami katakan bahwa :

dan,
Inilah penjelasan terbaik kami
Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) Indonesia

ENCINTA ALAM DAN MAHASISWA PENCINTA ALAM (seri dinamika kepencintaalaman Indonesia) Oleh : Nevy Jamest

ENCINTA ALAM DAN MAHASISWA PENCINTA ALAM (seri dinamika kepencintaalaman Indonesia)
Oleh : Nevy Jamest

“setiap langkah yang engkau lakukan
sangat tergantung pada langkah terakhir
yang engkau pikirkan”
(Nevy Jamest)

“Pencinta Alam”
kalimat yang kian menguat
dan akhirnya menjadi bagian dari
detak kehidupan masyarakat Indonesia.
Cinta dan Alam; Mudah diingat dan dekat dengan kehidupan.
Komunitas kalimat tersebut umumnya berasal dari segmen masyarakat yang cukup terhormat, Mahasiswa ! . . . . serta mereka yang menghargai kebebasan dalam kehidupan dan tidak sekedar hidup.

Komunitas ini lalu melembagakan kalimat tersebut dengan sebutan mahasiswa pencinta alam atau mpa (tidak sama antara mpa dan mapala).
Komunitas tersebut lalu berusaha tegak berjalan dalam jepitan waktu, pancangkan panji kelembagaan di puncak kehidupan berbangsa yang kian gersang.

Jelang lima dekade terakhir komunitas tersebut masih ada dan tetap seperti itu, wajarlah jika bukan hanya masyarakat yang ajukan sejumlah tanya tetapi ironisnya komunitas tersebut pun sebenarnya tenggelam dalam kebingungan; siapa sebenarnya mereka !

Komunitas ini ada tapi tidak eksis, memiliki waktu tanpa ruang, memiliki ruang tanpa materi, memiliki materi tanpa nilai, dan seterusnya.

“Pencinta Alam”, kalimat tersebut terkesan gampangan untuk dipahami sehingga sangat murah untuk dijadikan tiket legitimasi dalam pergaulan sosial dan politik murahan.

“Pencinta Alam”, mudah diingat sering dilupakan.
“Pencinta Alam”, terlalu dekat untuk dijangkau.

Pertanyaan dasar :
1. Apa yang dimaksud dengan pencinta alam dan mahasiswa pencinta alam ?
2. Bagaimana proses memahami pencinta alam dan bagaimana mahasiswa pencinta alam berproses ?
3. Seperti apa tujuan manfaat pencinta alam dan mahasiswa pencinta alam ?

2 (dua) pendekatan sebagai proses pembelajaran untuk dapat mengerti dan memahami (Insya Allah, menyadari) arti “Pencinta Alam dan Mahasiswa Pencinta Alam”, yakni ;
1. Pendekatan Filosofis (nilai, maknawiah, hati yang berpikir)
2. Pendekatan Historis

Pencinta Alam Pendekatan Filosofis
Sandaran berpikir, sebagai Hukum Dasar bahwa :
“Allah SWT
telah menciptakan
Alam dan Manusia”

Beberapa aspek maknawiah dari kebenaran umum diatas, antara lain :
1. Penegasan eksistensi keilahian Sang Maha Pencipta
2. Yang diciptakan Allah SWT ialah Alam dan Manusia
3. Alam dan Manusia adalah cermin eksistensi keilahian Sang Maha Pencipta
4. Alam dan Manusia menurut pandangan Allah SWT
5. Alam dan Manusia merupakan relasi keterikatan tak terpisahkan
6. Alam dan Manusia; ciptaan yang mengabdi kepada Sang Maha Pencipta
7. Proses interaksi antara Manusia dan Alam senantiasa disandarkan hanya kepada Sang Maha Pencipta – Allah SWT.

Apa yang dimaksud dengan Pencinta Alam
Cerminan interaksi antara Manusia dan Alam inilah yang diejawantahkan dalam suatu kata / kalimat / istilah, yakni : Pencinta Alam.
Secara filosofis, Pencinta Alam hanyalah suatu istilah ekspresif dari hubungan Manusia dan Alam sebagai suatu sistem yang tunduk bersandar kepada Sang Maha Pencipta – Allah SWT.
Operatif, . . . Pencinta Alam merupakan suatu statement (pernyataan sikap) tentang pentingnya suatu kesadaran untuk menjaga keharmonisan hubungan antara Manusia dan Alam yang beralaskan kecintaan.
Aplikatif, . . . Pencinta Alam menjadi suatu konsepsi atau pun metode edukatif yang efektif dalam proses pembelajaran dan peningkatan kualitas diri manusia.
Kekeliruan dalam memahami “Pencinta Alam” selama ini terletak pada analisis gramatikal, yakni : (CINTA = KVKKV, yang identik dengan TINJU = KVKKV; jika diberi awalan akan menjadi PETINJU (orang yang suka, gemar, berprofesi tinju. Hal yang sama, CINTA akan menjadi PECINTA (tanpa huruf N); lalu diterjemahkan sebagai orang yang suka, gemar dan mungkin profesi akan CINTA. Demikian pula dengan; “Pencinta” = subjek, orang yang suka (mencintai) kepada sesuatu; “Alam” = Objek yang disukai (dicintai) ; sehingga “Pencinta Alam dipahami sebagai kumpulan orang – orang yang mencintai alam sebagai objek ; dan dikembangkan menjadi peduli terhadap alam dan lingkungan, dst).
KEKELIRUAN DIATAS ADALAH GAMBARAN ADANYA KEKACAUAN DALAM BERPIKIR ATAU MUNGKIN SEDANG TIDAK BERPIKIR; . . . . . . yang akhirnya bermuara pada anggapan bahwa “Pencinta Alam” merupakan suatu bakat / minat / hobbi / profesi serta terjebak dalam polemik huruf “N” (Pe-N-cinta Alam atau Pecinta Alam), dan kekeliruan itu menjadi sempurna saat sudah tidak mampu membedakan antara “Pencinta Alam” dan “Petualangan”.

Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) Pendekatan Filosofis
Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) merupakan sebutan terhadap suatu lembaga / organisasi kepencintaalaman yang beranggotakan mahasiswa; yang memiliki tujuan, tempat dan kedudukan dalam suatu institusi pendidikan tinggi dan terlindungi secara yuridis; yang dalam penyelenggaraanya diharapkan dapat menyampaikan secara tepat hal – hal yang dimaksud dengan pendidikan kepencintaalaaman.
Secara filosofis ketika “Pencinta Alam” dilembagakan (mpa = mahasiswa pencinta alam) akan berpotensi untuk mengenyampingkan nilai kepencintaalaman dalam pencapaian tujuan politik kelembagaannya.

Bagaimana proses memahami Pencinta Alam
Prosesnya : Pendidikan dan Belajar !

Sesuatu dapat dikatakan Pendidikan jika dalam prosesnya dapat menyampaikan nilai – nilai dasar kemanusiaan.
Manusia terlahir sebagai pembelajar, tetapi setelah beranjak besar menjadi enggan untuk belajar.
Belajar merupakan proses keilmuan diri dan kedirian ilmu; Tidak tinggi hati merupakan syarat dasar dalam proses belajar; sehingga tujuan esensi dari belajar yakni, kemampuan untuk membedakan hal baik dan hal buruk dapat tercapai.
Cara belajar yang terbaik bagi komunitas pencinta alam ialah berkunjung ke Alam Bebas (bahkan ini menjadi semacam hukum dasar).
Tetapi harus dapat disadari bahwa Alam Bebas itu tidak ada secara nyata. Alam Bebas hanya ada dalam benak dan mimpi manusia.
Alam Bebas merupakan suatu dimensi yang terbuka bagi siapa saja dan memberikan kebebasan kepada siapa saja yang mengunjunginya.
Proses masuk berkunjung / beraktivitas di alam bebas itulah yang disebut Petualangan, yakni; suatu tindakan memasuki dimensi ketidaktahuan, penuh misteri dan sarat kejutan atau hal – hal yang tidak terduga.
Kedudukan “Pencinta Alam” sangat berbeda dengan “Petualangan”, tetapi memiliki keterkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan.
Mountaineer (pendaki gunung); Climber (pemanjat tebing) dan Caver (penelusur gua); antara lain merupakan contoh istilah / predikat kepetualangan (bukan predikat kepencintaalaman).
Predikat bagi kepencintaalaman adalah : MANUSIA.
Manusia menurut Allah SWT - Sang Maha Pencipta; Manusia yang memiliki kesadaran tentang kesakralan hubungan Allah SWT – Alam – Manusia.
Komunitas “Pencinta Alam” dalam prosesnya akan melakukan aktivitas petualangan atau dengan kata lain, bahwa; Tidaklah sama kedudukannya, antara komunitas Pencinta Alam mendaki gunung dengan pendaki gunung mendaki gunung.

Tujuan manfaat Pencinta Alam
1. Membangun kesadaran yang dalam terhadap hubungan Sang Maha Pencipta Allah SWT – Alam - Manusia.
2. Membangun pemahaman yang kokoh terhadap konsepsi Alam dan Manusia.
3. Membangun kesadaran terhadap fungsi dan kedudukan sebagai Manusia.

Pencinta Alam Pendekatan Historis
Sisi sejarah “Pencinta Alam” erat terkait pada perjalanan sejarah mpa (mahasiswa pencinta alam) dengan sandaran berpikir, bahwa :
“Istilah Pencinta Alam”
secara resmi dikenal melalui
organisasi mahasiswa pencinta alam”

Indonesia era tahun 1960-an; Merupakan salah satu era transisi dalam berbangsa. yang sangat mempengaruhi alam pemikran masyarakat Indonesia. Perekonomian hancur, angka kemiskinan sangat tinggi, korupsi merajalela, kedaulatan NKRI belum tuntas, trikora dicanangkan untuk membebaskan Irian Barat, suhu politik memanas, Badan kepanduan Indonesia menjadi Pramuka, Pencetusan kelahiran WANADRI – Perhimpunan pendaki gunung dan penjelajah rimba (suatu organisasi kepetualangan), kemunculan angkatan 66, G30SPKI dan Supersemar serta kejatuhan orde lama, dll dst.
Ditengah buruknya cuaca Ipoleksosbud di Indonesia pada sat itu, perlahan nan pasti, tumbuhlah pohon pencinta alam yang kini telah menjadi ribuan pohon dengan aneka rasa buah warna dedaunan. Pohon – pohon tersebut senantiasa tumbuh dan berkembang; karena cinta adalah anugerah Illahi yang selalu hadir di sembilan alamnya.
Aliran kecil jejak sejarah pertumbuhan pohon tersebut berawal dari Fakultas Sastera Universitas Indonesia (FSUI), kampus Salemba Jakarta, melalui sebuah kelompok kecil (small group) bernama FM atau Fakir Miskin yang dipelopori oleh Soe Hok Gie.
Masuk kampus dengan pakaian compang camping dan bertelanjang kaki merupakan gambaran penampilan teatretikal anggota FM untuk mengekspresikan keadaan masyarakat Indonesia yang sangat miskin .
Pucuk kegelisahan FM terhadap keadaan akan dinyatakan dalam aksi demonstrasi untuk menyampaikan pemikiran yang cerdas dan Indonesialis.
Untuk menjaga kemurnian perjuangan FM dilakukan dengan cara Mendaki Gunung; Bagi mereka ke gunung merupakan suatu upaya untuk membersihkan diri dan membuka cakrawala berpikir.
Soe Hok Gie, seorang Tionghoa nasionalis dan salah seorang tokoh pergerakan mahasiswa Indonesia, melalui pemikiran inspiratif bersama sejumlah mahasiswa FSUI, pada penghujung tahun 1964 membentuk wadah membentuk wadah perjuangan yang diberi nama IMPALA (Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam) FSUI.
Pada tahun 1970 seluruh small group yang ada di tingkat fakultas menyatu kedalam suatu wadah yang bernama MAPALA – UI.
Small group yang dimaksud merupakan kelompok – kelompok pergerakan perjuangan mahasiswa yang warna kegiatannya menyatukan fungsi mahasiswa sebagai social controle dan kegiatan kepetualangan; Substansinya tidak berada pada tataran nama small group yang harus memiliki nuansa inisial cinta dan alam tetapi lebih kepada tujuan manfaat dalam konteks berbangsa dan bertanah air.
Kelompok yang mana menggunakan inisial bernuansa pencinta alam di Universitas Indonesia saat itu bukan menjadi titik keistimewaan karena lebih internalistik dan belum “layak jual”, sehingga hanya melalui nama MAPALA – UI, jejak sejarah diperkenalkannya secara resmi istilah “Pencinta Alam”, menjadi lebih jelas, rasional dan berkekuatan hukum ( MAPALA – UI organisasi legal formal dan bukan small group).
Meskipun kehadiran organisasi MAPALA – UI terjadi pada tahun 1970 tetapi tahun kelahiran organisasi tersebut tidak mengacu pada tahun tahun 1970. Hal ini memberikan indikasi tentang adanya pertimbangan politik strategis yang jauh kedepan.

Untuk itu dapat ditegaskan bahwa :
1. Istilah “Pencinta Alam” untuk pertama kali secara resmi diperkenalkan oleh organisasi MAPALA – UI pada tahun 1970.
2. Penyampaian istilah tersebut tidak diikuti dengan suatu penjelasan yang mendalam dan universal sesuai kaidah keilmuan dan filosofis.

Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) Pendekatan Historis
Bersandar pada pertimbangan tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa :
1. Nama organisasi kepencintaalaman dengan akronim MAPALA (Mahasiswa Pencinta Alam) untuk pertama kali diperkenalkan oleh MAPALA – UI.
2. Sebutan umum / akronim bagi mahasiswa pencinta alam sebaiknya adalah MPA (Mahasiswa Pencinta Alam) dan bukan MAPALA karena Mapala adalah hasil kreasi Mapala UI (dapat menjadi semacam kekyaan intelektual) dan itu haruslah bisa dihargai dan dihormati.
3. Situasi kehidupan IPOLEKSOSBUD bangsa dan Negara pada era tersebut ikut mempengaruhi warna dan proses kelahiran MAPALA – UI.
4. Landasan perjuangan MPA (Mahasiswa Pencinta Alam) sebenarnya telah dipersiapkan oleh SOE HOK GIE (1969), sebagai berikut :

Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami
Kami katakan bahwa :
Kami adalah manusia - manusia yang tidak percaya pada slogan
Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan - slogan
Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya

Dan mencintai tanah air Indonesia
dapat ditumbuhkan dengan mengenal
Indonesia bersama rakyatnya dari dekat

Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda
harus berarti pula
pertumbuhan fisik yang sehat

Karena itu Kami naik gunung”

(statement diatas disampaikan Soe Hok Gie melalui sebuah media cetak nasional,
usai melakukan pendakian di gunung Slamet tahun 1969;
Statement tersebut adalah cermin tingkat kesadaran dan kecerdasan Soe Hok Gie
sebagai seorang mahasiswa pencinta alam
dalam berbangsa dan bernegara.
Soe Hok Gie telah menjawab
mengapa mahasiswa pencinta alam mendaki gunung
serta meletakkan visi mahasiswa pencinta alam (mpa) Indonesia.
Melalui statement Soe Hok Gie tersebut, tersirat menjadi contoh
bagaimana menjadi mahasiswa pencinta alam yang sebenarnya,
terutama dalam konteks psikologis, berbudaya, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.



.
TUNGGU LANJUTANYA.. !
Bagaimana Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) seharusnya Berproses …?
Apa tujuan manfaat Mahasiswa Pencinta Alam …?

HAKIKAT, MA'RIFAT, TAREKAT

HAKIKAT, MA'RIFAT, TAREKAT

HAKIKAT

PARA SUFI menyebut diri mereka “ahli hakikat”. Penyebutan ini mencerminkan obsesi mereka terhadap kebenaran hakiki; karena itu mudah dipahami kalau mereka menyebut Tuhan dengan al-Haqq, seperti yang tercermin dalam ungkapan al-Hallaj.”Aku adalah Tuhan” (ana al-Haqq). Obsesi terhadap hakikat (realitas absolut) ini tercermin dalam penafsiran mereka terhadap formula “La ilaha illah Allah “ yang mereka artikan tidak ada realitas yang sejati kecuali Allah. Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya wujud yang hakiki, dalam arti ialah yang betul-betul ada, ada yang absolut, sedangkan yang lain keberadaannya tidak hakiki atau nisbi dan tergantung kepada kemurahan Tuhan. Dialah Tuhan yang awal dan akhir, yang lahir dan batin, “sebab” dari yang segala ada dan tujuan akhir tempat mereka kembali. Ibarat matahari, Dialah yang memberi cahaya kepada kegelapan dunia, dan menyebabkan terangnya obyek-obyek yang tersembunyi dalam kegelapan. Dia jugalah pemberi wujud, sehingga benda-benda dunia menyembul dari persembunyiannya. Al-Qur’an menggambarkan Tuhan sebagai al-Awwal dan al-Akhir, al-Zhahir dan al-Bahtin. Al-Awwal dipahami para sufi sebagai sumber atau asal dari segala yang ada, Prima Causa, sebab pertama dari segala yang ada di dunia. Dia yang Akhir diartikan sebgai “tujuan akhir” atau “tempat Kembali” dari segala yang ada di dunia ini, termasuk manusia. Dialah pula pulau harapan ke mana bahtera kehidupan manusia berlayar. Dialah “kampung halaman” ke mana jiwa manusia yang sedang mengembara di dunia rindu kembali. Dia adalah “muara” kemana perjalanan spiritual seorang sufi mengalir. Dialah sang kekasih, dimana sang pecinta selalu mendambakan pertemuan. Dnilah tujuan akhir ke mana sang Sufi mengorientasikan seluruh eksistensinya. Tuhan juga digambarkan sebagai “al-Zhahir” dan “al-Bathin”, dan ini menggambarkan “imanensi” dan “transendensi” Tuhan. Bagi para sufi alam lahir (dunia indrawi) adalah cermin dari Tuhan, atau “pantulan” Tuhan dalam sebuah cermin. Alam lahir karena itu merupakan refleksi atau manifestasi (tajalliyat) Tuhan, dan karena itu tidak berbeda dari diri-Nya, tetapi juga tidak sama. Dan ketidaksamaannya ini terletak dalam sifat diri-Nya sebagai yang Bathin. Sebagai yang Batin, Tuhan berbeda atau mentransenden alam lahir, Dia adalah sumber, prinsip atau sebab, sedangkan alam adalah turunan, derivatif dan akibat daripada-Nya. Tuhan adalah mutlak sedangkan alam adalah nisbi, Tuhan ibarat matahari, sedangkan alam adalah cahayanya. Keberadaan matahari tidak tergantung pada cahayanya., namun justru keberadaan cahaya sangat bergantung pada matahari. Jadi, keberadaan alam sangat tergantung kepada-Nya. Sifat dasar diri-Nya adalah niscaya atau wajib, sedangkan sifat dasar alam adalah mungkin. Pernyataan “la ilaha illa Allah” ditafsirkan para sufi sebagai penafian terhadap eksistensi yang lain, termasuk eksistensi dirinya sebagai realitas. Konsep fana’ atau “faana’ al-fana” adalah ekspresi sufi akan penafian dirinya, sedangkan konsep baqa’ adalah afirmasi terhadap satu-satunya Realitas Sejati, yaitu Allah, atau Tuhan yang dinyatakan dalam formula “illa Allah”. Fana’ dan baqa’ dipandang sebagai “station” (maqam) terakhir yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Para sufi berdaya upaya sedapat mungkin untuk mencapai maqam tersebut, termasuk membunuh “ego”nya sendiri yang dipandang sebagai “kendala” atau menurut istilah mereka “berhala” terbesar yang bisa menghalangi perjalanan spiritual mereka menuju Tuhan. Dengan begitu ibadah mereka diikhlaskan atau dibersihkan dari segala unsur syirik, sebagai syarat diperkenankannya masuk kehadirat Tuhan. Rumi pernah berkata “Satu lubang jarum bukanlah untuk dua ujung benang.”

MA’RIFAT MA’RIFAT adalah sejenis pengetahuan dengan mana para Sufi menangkap hakikat atau realitas yang menjadi obsesi mereka. Ma’rifat berbeda dengan jenis ilmu lainnya, di mana ia menangkap obyeknya secara langsung, tidak melalui representasi, image ataupun simbol dari obyeknya tersebut. Seperti indra menagkap obyeknya secara langsung, demikian juga “hati” atau intuisi menangkap obyeknya secara langsung, perbedaannya terletak pada jenis obyeknya; kalau obyek indra adalah benda-benda indrawi (mahsusat), obyek intuisi adalah entitas-entitas spiritual (ma’qulat). Dalam kedua modus pengenalan ini manusia mengalami obyeknya secara langsung, dan karena itu ma’rifah disebut sebagai ilmu dzauqi (experiental), yang biasanya dikontraskan dengan pengetahuan melalui nalar (bahtsi). Walaupun sama-sama melalui pengalaman / dialami seseorang, namun hubungan orang itu dengan obyeknya berbeda. Dalam pengenalan indrawi obyek-obyeknya berada di luar dirinya, dan dikaitkan dengannya melalui “representasi”, sedangkan obyek-obyek intuisi, hadir begitu saja dalam diri orang tersebut, dan karena itu disebut “ilmu hudhuri” dan bukan “ilmu hushuli”. Ma’rifat dapat dibedakan dengan ilmu-ilmu rasional, dimana pemilahan antara subyek dan obyek begitu dominan, dan jarak antara keduanya sangatlah lebar. Walaupun ilmu rasional atau tepatnya akal sama-sama menangkap obyek-obyek ma’qulat (ruhani) sebagaimana intuisi tetapi cara keduanya berbeda. Akal menangkap obyek ruhani melalui hal-hal yang telah diketahui menuju yang tidak diketahui, jadi bersifat inferensial. Sementara intuisi menangkap obyeknya langsung dari sumbernya, apakah Tuhan atau malaikat, melalui apa yang dikenal sebagai penyingkapan, mukasyafah atau penyinaran (iluminasi) dan penyaksian (musyahadah). Penyingkapan ini bisa terjadi dalam keadaaan jaga atau mimpi, dapat mengambil bentuk ilham atau wahyu, atau terbukanya kesadaran hati akan kenyataan yang selama ini tersembunyi demikian rapat. Ma’rifat tidak bisa diraih melalui jalan indrawi, karena menurut Rumi itu seperti mencari-cari mutiara yang berada di dasar laut hanya dengan datang dan memandang laut. Ia juga tidak dapat diperoleh lewat penggalian nalar, karena itu akan sama seperti orang yang menimba laut untuk mendapatkan mutiara. Untuk mendapatkan mutiara (ma’rifat) orang membutuhkan penyelam ulung dan beruntung; yakni butuh seorang mursyid yang berpengalaman. Bahkan mengingatkan bukan hanya penyelam yang ulung tetapi juga beruntung, yakni tergantung kepada kemurahan Tuhan, karena tidak semua kerang mengandung mutiara yang didambakan. Ma’rifat, seperti yang telah dikemukakan, berdasarkan pada pengalaman; artinya ia harus dialami, bukan dipelajari. Seperti memahami rasa manis, akan bisa dengan mudah dengan langsung mencicipi gula. Mencoba memahaminya lewat keterangan orang lain atau membaca buku akan mendapatkan pengetahuan yang semu. Paling banter, hanya bisa menghampirinya tanpa bisa menyentuhnya. Ma’rifat tidak bisa dipelajari dari buku, bahkan buku para Sufi sekalipun. Ketika kita datang kepada seorang mursyid, maka ia akan mengajak kita berdzikir dan melakukan disiplin-disiplin spiritual yang keras, agar kita mengalami pengalaman-pengalaman mistik atau keagamaan sendiri dan bisa mencicipinya sendiri. Buku bagi seorang Sufi hanyalah simbol karena terdiri dari huruf-huruf yang tidak lain daripada simbol yang disepakati. Tapi bisakah kita menyunting mawar dari M.A.W.A.R.? Perbedaan lain antara ma’rifat dengan jenis pengetahuan yang lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras, seperti belajar, merenung, mengasah otak dan berpikir keras melalui cara-cara berfikir yang logis, jadi manusia memang betul-betul berusaha dengan segenap kemampuannya untuk memperoleh obyek pengetahuannya. Tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia, pada tahap akhir semuanya tergantung kemurahan Tuhan. Manusia hanya bisa melakukan “persiapan diri” (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit jiwa lainnya, yakni akhlak yang tercela. Ibarat kaca yang dipasang untuk menerima cahaya matahari ke dalam rumah hati kita, kaca tersebut harus senantiasa dibersihkan dari segala debu yang menempel di atasnya, agar ketika sinar matahari itu masuk atau hadir maka kaca kita siap mengantarkannya ke dalam jantung rumah kita dan memberi cahaya pada sekitarnya. Sehingga terjadi iluminasi terhadap benda-benda yang ada disekitarnya dan membuat benda-benda yang tak tampak atau remang-remang menjadi jelas dan terang benderang.

TAREKAT

TAREKAT (thariqah), seperti syari’at berarti jalan, hanya saja yang pertama berarti jalan kecil (path) sedangkan yang terakhir berarti jalan besar (road). Tarekat kemudian dipahami sebagai jalan spiritual yang ditempuh seorang Sufi. Selain tarekat sering juga dipakai kata suluk yang artinya juga jalan spiritual, dan orangnya disebut salik. Tetapi kata tarekat juga dipakai sebagai kelompok persaudaraan atau orde spiritual yang biasanya didirikan oleh seorang Sufi besar, seperti Abdal-Qadir jaelani, Sadzali, Jalal al-din Rumi dan lain-lain. Nama tarekat tersebut biasanya diberi nama sesuai dengan nama-nama para pendirinya. Karena itu kita mengenal tarekat Qadiriah, Sadzaliyah atau Mawlawiyah yang dinisbatkan dengan kata Mawlana (guru kami) sebuah sebutan yang diberikan oleh para pengikut Jalal al-din Rumi kepada dirinya. Sebagai jalan spiritual, tarekat ditempuh oleh para Sufi dan Zahid di sepanjang zaman. Setiap orang yang menempuhnya mungkin mempunyai pengalaman yang berbeda-beda, sekalipun tujuannya adalah sama, yaitu menuju Tuhan, mendekati Tuhan bahkan bersatu dengan-Nya, baik dalam arti majaz atau hakiki, yaitu kesatuan mistik atau ittihad (mystical union). Meskipun begitu para ahli sepakat untuk memilah-milah tahapan perjalanan spiritual ini ke dalam station-station (maqamat), dan keadaan-keadaan (ahwal). Sementara maqamat dicapai dengan usaha yang sadar dan sistimatis, ahwal adalah keadaaan-keadaan jiwa (mental states) yang datang secara spontan dan berlangsung relatif cepat dan tak lama. Selain pengalaman spiritual yang berbeda-beda dari seorang Sufi dalam tarekatnya, intensitas dan kecepatan perjalanannya pun bisa berbeda-beda. Ali Nadwi misalnya menggambarkan perjalanan mistik Rumi seperti burung rajawali (falcon) yang bisa dengan cepat tiba di tangan rajanya, sedangkan ‘Aththar seperti semut. Rumi sendiri misalnya mengatakan,” Seorang Sufi bermi’raj ke Arasy dalam sekejap; sang Zahid perlukan sebulan untuk sehari pejalanan.” Walaupun jalan spiritual ini obyektif, karena dialami oleh orang-orang suci di sepanjang zaman, tetapi pengalaman masing-masing Sufi dalam menempuh perjalanan tersebut adalah subyektif. Dan karena sifat pengalamannya subyektif, maka tidak mungkin kita mengharapkan adanya keseragaman ungkapan dan nama-nama tahapan (maqamat) atau keadaan-keadaan (ahwal) dari seluruh atau masing-masing Sufi. Oleh karena itu wajar, kalau para penulis Sufi berbeda misalnya dalam menamakan maqam-maqam ataupun urutan-urutannya. Al-Kalabadzi, misalnya menyebut maqam-maqam tersebut sebagai berikut: taubat, zuhud, sabar, faqr, tawadhu’, taqwa, tawakkal, ridha’, mahabbah dan ma’rifat, sementara al-Ghazali menyebutnya sebagai berikut : taubat, sabr, faqr, zuhud, tawakkal, mahabbah, ma’rifat dan ridha, sedangkan al-Qusyairi sebagai berikut; taubat, wara, zuhud, tawakkal, sabar dan ridha. Selain perjalanan tersebut digambarkan secara datar dan dalam bentuk prosa, seperti tersebut di atas, ada juga yang menggambarkannya secara simbolis dan dalam bentuk puitis. Farid al-Din ‘Aththar misalnya menggambarkan perjalanan spiritualnya dengan indah dalam karya puitisnya Manthiq al-Thayr sebagai perjalanan panjang dan melelahkan dari burung-burung (yang melambangkan jiwa-jiwa manusia) dalam rangka menjumpai raja mereka “simurgh”. Untuk itu mereka harus melampaui tujuh lembah yaitu lembah pencaharian, lembah cinta, ma’rifat, perpisahan, kesatuan, keheranan, faqir dan fana’. Atau seperti Ibn ‘Arabi yang melukiskan pengalaman spiritualnya secara detail tanpa berusaha memberi nama masing-masing tingkatnya tetapi menceritakan dengan gamblang perjalanan manusia dari tingkat indrawi menuju tingkat imajinal, dan dari dunia imajinasi ke tingkat spiritual murni. Sekurangnya ada 19 tingkatan yang digambarkan Ibn Arabi dalam kitabnya Risalat al-Anwar fima yumnah shahib al-khalwa min al-Asrar, sebelum akhirnya manusia kembali kepada dunia indrawi. Apa yang kita gambarkan selama ini tentang tarekat, adalah pengertian tarekat sebagai perjalanan spiritual, yang juga disebut suluk. Tetapi ada pengertian lain dari tarekat dalam arti persaudaraan atau ordo spiritual. Pengertian ini sebenarnya yang lebih dikenal oleh kalangan luas, seperti Tarekat Naqsabandiah, Sinusiah, Qadiriah dan sebagainya. Tentu bukan tempatnya di sini untuk membahas satu persatu tarekat tersebut, namun beberapa hal tentang tarekat ini perlu dikemukakan. Pertama, tentang metode spiritual dan peranan sang guru (mursyid). Karena tasawuf pada hakekatnya tidak bisa dipelajari lewat buku, maka latihan spiritual berupa dzikr, atau sama’, adalah cara yang efektif untuk memahaminya lewat pengalaman batin. Daripada mengajarkan murid-murid tentang ajaran-ajaran para Sufi, seorang guru akan mengajak murid-muridnya untuk melakukan perjalanan bersama melalui dzikir menuju tuhan, dengan metode yang pernah dialami oleh si mursyid. Dengan begitu sang guru berharap bahwa apa yang pernah ia alami dengan metode yang sama akan juga dialami oleh murid-muridnya. Metode ini harus diikuti dengan disiplin yang tinggi dan dengan penuh ketaatan kepada petunjuk sang guru. Ini terjadi karena sang guru merasa yakin hanya dengan cara itulah maka pengalaman seorang murid akan sesuai dengan yang direncanakan. Dalam hal ini murid tidak boleh protes atau membangkang, dan seorang murid harus bertindak seolah-olah seperti mayat dalam pangkuan orang yang memandikannya. Boleh saja membangkang, tetapi sang guru tidak bertanggung jawab atas kegagalan sang murid yang membangkang tersebut dan tidak ada jaminan bahwa usahanya itu akan berhasil. Jadi inilah kira-kira peranan sang mursyid terhadap muridnya, yakni memastikan bahwa segala hal-ihwal metodenya dijalankan sepenuhnya oleh sang murid. Baru setelah segalanya dijalankan dengan baik, seorang murid bisa berharap sukses dalam upaya tersebut.